PENGAMAT pertahanan dan keamanan, Mufti Makaarim, mempertanyakan cetak biru Polri dalam menangani radikalisme. Menurut Mufti, meski Tito memiliki pengetahuan mendalam soal terorisme, faktanya Polri terlihat gagap menghadapi aksi kelompok radikal yang menguat dalam tiga bulan terakhir.
"Cara-cara yang dilakukan terlihat reaksioner dan tidak sistematis berpotensi menimbulkan masalah. Seperti membiarkan bentrokan antarormas atau maraknya pelaporan terkait peninstaan," ujar Mufti. (Kompas.com, 19/1/2017)
Terkesan, Mufti melihat situasi dari posisi yang tenang dan nyaman, sehingga tindakan polisi yang sebenarnya masih jauh dari ketegasan sudah dinilai sebagai tindakan reaksioner.
Jauh beda dengan situasi kebangsaan yang dilihat dari posisi Muhammad Ainun Nadjib yang tersurat dalam tulisannya Bangsa Yatim Piatu (Kompas, 19/1/2017), yang menyatakan, bangsa Indonesia segera tiba pada salah satu puncak eskalasi pertengkarannya di antara mereka sendiri, sesama saudara.
Salah satu hasil minimalnya nanti adalah tabungan kebencian, dendam, dan permusuhan masa depan yang lebih mendalam. Maksimalnya bisa mengerikan. Kita sedang menanam dan memperbanyak ranjau untuk mencelakakan anak-cucu kita sendiri kelak.
Masing-masing yang sedang bertengkar memiliki keyakinan atas kebenarannya dari sisinya. Dan, tidak perlu ada yang memperpanjang masalah serta menambah ranjau dengan mempermasalahkan pihak ini atau itu. Minimal, untuk sementara, ada baiknya menghindari kenikmatan menuding “siapa yang salah”.
Sebab, kalau salah-benar diposisikan pada subjek, kemudian yang ditegakkan adalah pro-kontra, maka semua akan terjebak situasi subjektif. Kalau "pro" satu pihak, maka ia "benar 100 persen"; kalau "kontra" satu pihak, maka ia "salah 100 persen". Kita berada sangat jauh dari kedewasaan berpikir. Produknya, kita bermasalah terhadap dua hal. Pertama, anak-cucu kita akan kebingungan mempelajari sejarah kebenaran melawan kebenaran dan kebaikan melawan kebaikan. Kedua, kita mempertengkari hakiki kemanusiaan kita sendiri sebab setiap orang dan pihak ada benarnya dan ada salahnya. Tidak bisa benar mutlak, tidak bisa salah absolut.
Karena itu, buat apa dipertengkarkan? Cukuplah pandangan itu menyadarkan kita untuk menjaga masyarakat bangsa dalam keharmonisan, dengan menjaga diri tak mudah terseret ombyokan ke sana atau ke sini. Kalau diri kita tak tercabik, persaudaraan tak tercabik, kebangsaan kita harmonis! ***
Terkesan, Mufti melihat situasi dari posisi yang tenang dan nyaman, sehingga tindakan polisi yang sebenarnya masih jauh dari ketegasan sudah dinilai sebagai tindakan reaksioner.
Jauh beda dengan situasi kebangsaan yang dilihat dari posisi Muhammad Ainun Nadjib yang tersurat dalam tulisannya Bangsa Yatim Piatu (Kompas, 19/1/2017), yang menyatakan, bangsa Indonesia segera tiba pada salah satu puncak eskalasi pertengkarannya di antara mereka sendiri, sesama saudara.
Salah satu hasil minimalnya nanti adalah tabungan kebencian, dendam, dan permusuhan masa depan yang lebih mendalam. Maksimalnya bisa mengerikan. Kita sedang menanam dan memperbanyak ranjau untuk mencelakakan anak-cucu kita sendiri kelak.
Masing-masing yang sedang bertengkar memiliki keyakinan atas kebenarannya dari sisinya. Dan, tidak perlu ada yang memperpanjang masalah serta menambah ranjau dengan mempermasalahkan pihak ini atau itu. Minimal, untuk sementara, ada baiknya menghindari kenikmatan menuding “siapa yang salah”.
Sebab, kalau salah-benar diposisikan pada subjek, kemudian yang ditegakkan adalah pro-kontra, maka semua akan terjebak situasi subjektif. Kalau "pro" satu pihak, maka ia "benar 100 persen"; kalau "kontra" satu pihak, maka ia "salah 100 persen". Kita berada sangat jauh dari kedewasaan berpikir. Produknya, kita bermasalah terhadap dua hal. Pertama, anak-cucu kita akan kebingungan mempelajari sejarah kebenaran melawan kebenaran dan kebaikan melawan kebaikan. Kedua, kita mempertengkari hakiki kemanusiaan kita sendiri sebab setiap orang dan pihak ada benarnya dan ada salahnya. Tidak bisa benar mutlak, tidak bisa salah absolut.
Karena itu, buat apa dipertengkarkan? Cukuplah pandangan itu menyadarkan kita untuk menjaga masyarakat bangsa dalam keharmonisan, dengan menjaga diri tak mudah terseret ombyokan ke sana atau ke sini. Kalau diri kita tak tercabik, persaudaraan tak tercabik, kebangsaan kita harmonis! ***
0 komentar:
Posting Komentar