PRESIDEN Amerika Serikat (AS) Donald Trump, Jumat (27/1/2017), menandatangani perintah eksekutif untuk membatasi laju imigran dari tujuh negara muslim: Iran, Irak, Suriah, Sudan, Libya, Yaman, dan Somalia.
Trump, yang menjanjikan pemeriksaan ketat bagi imigran saat kampanye, mengaku kebijakan ini diambil demi mencegah masuknya kelompok militan ke AS. "Saya membangun langkah-langkah pemeriksaan baru untuk menjaga para teroris tak masuk ke Amerika Serikat. Kita tidak ingin mereka di sini," ujar Trump. (Kompas.com, 28/1/2017)
Langkah Trump ini langsung mengundang kecaman dari kubu Demokrat, kelompok pembela hak asasi manusia, dan kelompok donor. "Diksi 'pemeriksaan ketat' itu hanya eufemisme untuk diskriminasi terhadap umat Islam," tukas Direktur Eksekutif American Civil Liberties Union, Anthony Romero.
"Mengidentifikasi negara tertentu dengan penduduk mayoritas muslim, dan memberi pengecualian kepada agama-agama minoritas untuk masuk ke AS, melanggar prinsip konstitusi," tegas Romero.
Menurut Romero, dalam konstitusi AS, pemerintah dilarang mendukung ataupun mendiskriminasi agama tertentu.
Selain membatasi imigran dari negara muslim, yang di mata Gedung Putih berpotensi mengancam keamanan AS, Trump juga berniat memberi prioritas bagi pengungsi Kristen dari Suriah. Itu ia sebut dalam wawancara dengan The Christian Broadcasting Network, "Jika Anda muslim Anda bisa masuk, tapi jika Anda Kristen kemungkinannya nyaris mustahil, itu jelas sangat tidak adil," kata Trump seperti dikutip Reuters.
Menurut data riset Pew, jumlah pengungsi muslim masuk ke AS pada 2016 sebanyak 38.901, sedang pengungsi Kristen 37.521. Jumlah hampir sama itu, dengan persentase penduduk Islam-Kristen di Suriah pengungsi Kristen proporsinya jadi relatif lebih besar, tampak asumsi Trump pengungsi Kristen nyaris mustahil masuk AS itu keliru.
Untuk itu, kritik datang dari Stephen Legomsky, mantan kepala Badan Kependudukan dan Layanan Imigrasi AS, pada masa pemerintahan Obama. Dia menilai memberikan prioritas kepada pemeluk agama tertentu berpotensi menjadi kebijakan yang inkonstitusional.
"Jika mereka berpikir untuk memberikan pengecualian kepada umat Kristen, maka dalam semua konteks hukum lainnya mengatur, diskriminasi dalam mendukung satu agama dan menolak agama lain bisa melanggar konstitusi," tegas Legomsky.
Namun, karena mayoritas kongres dikuasai Partai Republik, penyimpangan surat perintah eksekutif itu mudah dibuat jadi "masuk akal"! ***
Langkah Trump ini langsung mengundang kecaman dari kubu Demokrat, kelompok pembela hak asasi manusia, dan kelompok donor. "Diksi 'pemeriksaan ketat' itu hanya eufemisme untuk diskriminasi terhadap umat Islam," tukas Direktur Eksekutif American Civil Liberties Union, Anthony Romero.
"Mengidentifikasi negara tertentu dengan penduduk mayoritas muslim, dan memberi pengecualian kepada agama-agama minoritas untuk masuk ke AS, melanggar prinsip konstitusi," tegas Romero.
Menurut Romero, dalam konstitusi AS, pemerintah dilarang mendukung ataupun mendiskriminasi agama tertentu.
Selain membatasi imigran dari negara muslim, yang di mata Gedung Putih berpotensi mengancam keamanan AS, Trump juga berniat memberi prioritas bagi pengungsi Kristen dari Suriah. Itu ia sebut dalam wawancara dengan The Christian Broadcasting Network, "Jika Anda muslim Anda bisa masuk, tapi jika Anda Kristen kemungkinannya nyaris mustahil, itu jelas sangat tidak adil," kata Trump seperti dikutip Reuters.
Menurut data riset Pew, jumlah pengungsi muslim masuk ke AS pada 2016 sebanyak 38.901, sedang pengungsi Kristen 37.521. Jumlah hampir sama itu, dengan persentase penduduk Islam-Kristen di Suriah pengungsi Kristen proporsinya jadi relatif lebih besar, tampak asumsi Trump pengungsi Kristen nyaris mustahil masuk AS itu keliru.
Untuk itu, kritik datang dari Stephen Legomsky, mantan kepala Badan Kependudukan dan Layanan Imigrasi AS, pada masa pemerintahan Obama. Dia menilai memberikan prioritas kepada pemeluk agama tertentu berpotensi menjadi kebijakan yang inkonstitusional.
"Jika mereka berpikir untuk memberikan pengecualian kepada umat Kristen, maka dalam semua konteks hukum lainnya mengatur, diskriminasi dalam mendukung satu agama dan menolak agama lain bisa melanggar konstitusi," tegas Legomsky.
Namun, karena mayoritas kongres dikuasai Partai Republik, penyimpangan surat perintah eksekutif itu mudah dibuat jadi "masuk akal"! ***
0 komentar:
Posting Komentar