Kata Kunci

Blogumulus by Roy Tanck and Amanda Fazani

Mengatasi Kemiskinan Lampung!

DALAM acara di Sukadana, Rabu (19/6/2019), Gubernur Lampung Arinal Djunaidi mengatakan tantangan Lampung Timur adalah masalah kemiskinan. Kemiskinan di Lampung Timur itu cermin kemiskinan area perdesaan Lampung yang pada September 2018 tercatat 14,73%, lebih tinggi dari angka kemiskinan provinsi Lampung 13,01%. Karena angka kemiskinan di Provinsi Lampung itu sendiri juga masih jauh lebih tinggi dari angka kemiskinan nasional, yang pada periode sama 9,66%, maka bisa dikatakan bahwa masalah Lampung Timur itu paralel dengan prioritas Provinsi Lampung, mengatasi kemiskinan. Malah layak dipasang target dalam lima tahun ke depan, angka kemiskinan Lampung harus menyamai angka kemiskinan nasional. Kemiskinan di Lampung, utamanya di desa yang berbasis ekonomi pertanian, sungguh merupakan anomali. Sebab, sepanjang dua dekade ini nilai tukar petani (NTP) Lampung selalu di atas rata-rata nasional. Bahkan, pernah dalam satu periode hingga 2015, ketika NTP nasional di angka 101, NTP Lampung mencapai di atas 120, tertinggi di Indonesia. Tapi kenapa kemiskinan Lampung justru jauh di atas rata-rata nasional, lebih lagi di perdesaan? Karena seiring penguasaan lahan produktif banyak petani di Lampung cenderung terus menyempit, juga terjadi involusi pertanian: luas lahan pertanian yang semakin berkurang menanggung beban hidup penduduk yang justru semakin bertambah. Utamanya di kampung-kampung "tua", yang keluarga berkembang dari generasi ke generasi tapi luas tanah milik keluarga relatif terus berkurang. Bahkan juga di kawasan transmigrasi, pemilikan tanah keluarga setiap generasi terus menyempit dengan jumlah keluarga yang terus berkembang. Involusi itu terlihat pada sumbangan sektor pertanian yang 30% pada PDRB, memikul jumlah tenaga kerja sebesar 43,30%. Apalagi terjadi perlambatan pertumbuhan di sektor pertanian, dari lima tahun lalu masih di atas 4%, kini tinggal 1,01%. Akibatnya, kecuali di subsektor perkebunan besar yang enclave kapitalistik, nyaris semua subsektor lain sesak napas. Kondisi sesak napas itu dilukiskan Asrian Hendi Caya (Lampung Post, 12/6), di subsektor tanaman padi pendapatan per kapita petani Rp361,67 ribu/bulan, di subsektor tanaman kopi Rp364,58 ribu/bulan, semua itu di bawah garis kemiskinan Rp409.881. Dengan demikian, menyimak kemiskinan di Lampung harus dengan mencari sebab-akibat terjadinya involusi pertanian dan mencarikan solusinya. Untuk itu, jelas tidak sederhana. (Bersambung)

0 komentar: