Kata Kunci

Blogumulus by Roy Tanck and Amanda Fazani

Hari Kemenangan atas Nafsu Sendiri!

Artikel Halaman 12, Lampung Post Rabu 12-05-2021
Hari Kemenangan Atas Nafsu Sendiri!
H. Bambang Eka Wijaya

GEMA takbir membahana dari ufuk timur ke barat, mengagungkan Asma-Nya sebagai rasa syukur atas kuasa-Nya membelenggu semua syaiton sehingga perjuangan setiap muslim menaklukkan nafsunya sendiri sepanjang Ramadan mencapai Hari Kemenangan.
Idul Fitri, itulah Hari Kemenangan. Suatu kemenangan yang sesungguhnya layak disyukuri dengan rasa gembira dan bahagia. Suatu kemenangan yang menghantar ampunan Ilahi hingga diri kembali fitri, suci.
Kemenangan yang lazimnya dan semestinya dirayakan bersama keluarga besar, baik yang tinggal di kota maupun kampung halaman. Berbagi kebahagiaan dan tasyakur bersama dalam bingkai silaturahmi, saling bermaafan, adalah kesempatan mulia yang selalu dirindukan.
Rindu itu hasrat untuk bertemu yang dicintai, yang dikasihi, yang disayangi, adalah naluri dasar manusia, basic instinnt. Itulah esensi mudik. Sehingga idul Fitri menjadi kesempatan yang tak tergantikan. Kesempatan melepas rindu yang menahun.
Rindu pada tempat asal dari mana kita datang, sangkan paraning dumadi, sangat manusiawi. Hewan tidak memiliki naluri atau instinct itu. Dan yang manusiawi itu, karena di bawah sadarnya manusia merindukan dari mana dia berasal dan kemana ia harus kembali. Menyadarkan, hidup hanyalah sebuah perjalanan untuk kembali.
Bahkan mudik adalah sebuah refleksi, orang harus menyiapkan bekal yang cukup untuk mudik. Lebih lagi mudik di akhir hayat, kembali ke kampung asali, haribaan-Nya. 
Demikian sublimnya mudik. Bukan sekadar tradisi, tapi mengandung makna yang hakiki. Sehingga, pemerintah kalang kabut untuk melarang atau meniadakan mudik. Tahun lalu larangan mudik gagal. Jutaan orang tetap mudik dengan berbagai cara.
Tahun ini pemerintah berusaha lebih ketat menjaga penyekatan jalan dengan mengerahkan ribuan polisi dan tentara.
Itu semua karena sistem komunikasi publik merupakan titik lemah pemerintah, yang lemah dalam pendekatan partisipatif. Malah lebih condong untuk represif, hingga sejumlah UU pun dilahirkan dengan pemaksaan, kurang deliberasi rakyat luas.
Tentang virus Corona, misalnya, pemerintah gagal menyosialisasikan tiada sesuatu pun bisa terjadi tanpa seizin-Nya. Komunikasi verbalnya cenderung hanya lebih menakutkan rakyat, sentuhan yang terlalu jauh dari sendi keimanan.
Tapi memang, lewat penyekatan paksa pun akhirnya rakyat bisa dipaksa menunda mudik. Padahal, dalam masyarakat berakal sehat seperti Indonesia, semua itu semestinya bisa dilakukan berdasar kesadaran masyarakat. ***



0 komentar: