Artikel Halanan 12, Lampung Post Rabu 05-05-2021
Merdeka Belajar untuk Generasi Kritis!
H. Bambang Eka Wijaya
UU 23/2002 tentang Perlindungan Anak Pasal 10 berbunyi. "Setiap anak berhak menyatakan dan didengar pendapatnya, menerima, mencari, dan memberikan informasi sesuai dengan tingkat kecerdasan dan usianya demi pengembangan dirinya sesuai dengan nilai-nilai kesusilaan dan kepatutan."
Hak anak tersebut selama ini cenderung diingkari penguasa. Anak-anak yang berpartisipaai menyatakan pendapat diancam DO oleh dinas pendidikan. Lalu, diadang di jalan, digiring jalan duduk dan digunduli plus ancaman tak diberi SKCK saat butuh.
Semua itu terjadi tanpa kecuali, Pasal 4 UU Perlindungan Anak berbunyi, "Setiap anak berhak untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.
Kondisi di bawah tekanan kekerasan verbal dan fisis itu setidaknya dialami anak negeri dari 2015 hingga 2019, yang mencengkeram dunia pendidikan. Anak-anak menjadi generasi bisu, bahkan tak bisa menguraikan isi bacaannya. Akibatnya, dalam Programme for International Student Assesment (PISA) 2019 Indonesia merosot 11 tingkat ke peringkat 74 dari 79 negara, dari 2015 Indonesia di peringkat 63 dari 71 negara.
Berdasarkan realitas anak didik hanya pasif dijadikan "celengan semar", tempat guru menuangkan isi otaknya ke kepala murid itu, Mendikbud Nadiem Makarim mencanangkan Merdeka Balajar. Murid didorong lebih aktif dan leluasa berdiskusi dengan guru. Membebaskan murid dari hambatan mental psikologis menyampaikan pendapat.
Merdeka Belajar menjadi situasi dan kondisi pembebasan pelajar dari suasana tertindas mirip "pedagogy of the oppresed"-nya Paulo Preire; menuju pendidikan merdeka untuk membangun generasi kritis versi Nadiem Makarim.
Dengan mengembalikan pendidikan anak ke jalur UU Perlindungan Anak, sesuai garis konstitusi mencerdaskan kehidupan bangsa, pendidikan nasional akan menghasilkan suatu generasi cerdas yang kritis. Ini jelas punya konsekuensi logis terhadap perkembangan demokrasi yang cenderung berlawanan arah.
Namun dengan putusan tetap mempercayai Nadiem sebagai mendikbud bahkan setelah digabung dengan Ristek, tampaknya Jokowi mendukung arah pendidikan kritis Nadiem.
Itu berarti, represif terhadap anak dalam pendidikan sepanjang 2015-2019 yang menghancurkan mutu pendidikan versi PISA, bukan maunya Jokowi. Cuma tingkah orang cari muka pada Jokowi, tapi kini telah ditepis dengan program merdeka belajar. ***
0 komentar:
Posting Komentar