Kata Kunci

Blogumulus by Roy Tanck and Amanda Fazani

Cicak Vs Buaya, Larangan 'Live'!


"GEMPAR cicak versus buaya juga merebak ke pers, dengan munculnya usulan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) untuk melarang siaran langsung (live) atas sidang pengadilan, dan selanjutnya sidang DPR!" ujar Umar. "Contoh kasusnya siaran sidang Antasari saat menghadirkan Rhani Yuliani, istri ketiga almarhum Nasruddin sebagai saksi, bicaranya vulgar! Sedang untuk sidang DPR, menurut KPI kadang mengandung hal yang tidak mendidik seperti makian, atau anggota Dewan terlibat adu kekerasan!"

"Kalau anggota DPR perilakunya buruk, mulutnya kotor bicaranya caci-maki melulu, suka berantem adu jotos di ruang sidang, bukan publik yang harus diberangus dari hak dasarnya memperoleh informasi!" sambut Amir. "Tapi partainya yang harus me-recall anggota tersebut, karena anggota DPR itu pilihan dari putra-putri terbaik bangsa yang harus bisa diteladani, bukan malah ditakuti sebagai penebar contoh buruk kepada rakyat!"



"Terkait larangan live sidang pengadilan, tidak kepalang, Ketua Mahkamah Agung (MA) Prof. Harifin A. Tumpa yang pertama bereaksi!" tegas Umar. "Menurut Ketua MA, sidang pengadilan harus terbuka! Kewenangan menentukan sidang terbuka dan bisa disiarkan atau tidak, ada pada hakim! Hakim yang tahu jika harus sidang tertutup!"

"Jadi, masalah keterbukaan sidang pengadilan itu masuk dalam kekuasaan kehakiman, sehingga tak satu pun kekuasaan lain boleh mencampurinya!" timpal Amir. "Konon lagi KPI, sebagai lembaga publik produk reformasi, yang kehadirannya terutama diperlukan untuk menjamin hak-hak dasar rakyat untuk mendapat informasi (people rights to know) yang dijamin secara universal, di masa Orde Baru hak rakyat tersebut justru dikencundangi penguasa lewat beragam pembatasan dan sensor! Jadi konyol, kalau KPI malah melakukan sensor--selain melawan kodrat eksistensialnya, UU tentang pers menjamin tak ada lembaga sensor terhadap pers! Pers itu, menurut UU, media cetak dan elektronik yang teridiri dari radio, televisi, dan internet!"

"Lebih lagi sidang DPR, tempat para waki rakyat memperjuangkan nasib rakyat yang diwakilinya, forum terpenting bagi praktek keterbukaan justru sebagai implementasi prinsip reformasi--check and balances!" tegas Umar. "Dengan demikian, jika KPI mensponsori ketertutupan DPR, berarti bertentangan dengan semangat dasar reformasi, KPI telah menjadi Malin Kundang--lupa asal-usul keberadaannya!"

"Maka itu, semua yang serbasalah ditinjau dari kekuasaan kehakiman dan fungsi DPR itu, lebih baik dianggap wacana pribadi, cuma kebetulan orangnya dari KPI, jadi bukan dari lembaganya!" tukas Amir. "Mungkin akibat demikian kuat kisaran konflik cicak versus buaya, ada saja orang maupun lembaga yang terseret putaran imbasnya! Namun, alangkah tak bijaksana kalau rakyat ikut dibawa terseret latah-latahan begitu!".

0 komentar: