Kata Kunci

Blogumulus by Roy Tanck and Amanda Fazani

Korupsi di Balik Formal Legalistik!

"SEPEKAN ini informasi kontroversial dari berbagai sisi terkait kasus kriminalisasi KPK melimpah!" ujar cucu. "Bagaimana menilai mana yang benar?"

"Kebenaran setiap informasi tergantung bukti-bukti pendukungnya!" tegas kakek. "Sulit menilai mana yang benar, karena banjir informasi itu terkait kekuasaan, yang cenderung korup seperti kata Lord Acton! Selain korupsi juga merupakan kejahatan luar biasa, ®MDRV¯extraordinary crime®MDNM¯!"

"Contoh kekuasaan cenderung korup!" kejar cucu.
"Dengan kekuasaan orang bisa membuat aturan untuk semua, tapi hanya menguntungkan diri dan kelompoknya!" tegas kakek. "Dengan itu, ketika ia menjalankan aturan itu secara formal legalistik, yang efektif terjadi justru sebuah korupsi--dengan benefit berupa apa pun itu!"

"Korupsi sebagai kejahatan luar biasa!" kejar cucu.
"Ketika pejabat main mata dengan pengusaha dalam proyek, misal, rehabilitasi jalan!" jelas kakek. "Semua aturan main formal legalistik dijalankan, tender, pengawasan dengan menguji di semua titik kualitas proyeknya! Tapi, setelah proyek selesai, jalan yang seharusnya tahan dua tahun saat musim hujan sudah berlubang-lubang

kembali! Itu contoh korupsi kejahatan luar biasa, selalu ada hal-hal yang sukar disingkap di balik formal legalistik yang serbaberes itu!"

"Jadi rakyat tahu ada korupsi karena jalan cepat rusak lagi, atau bangunan baru ambruk tanpa gempa atau badai, aparat hukum tak bisa menemukan kesalahan karena aturan formal legalistiknya beres!" timpal cucu. "Begitulah korupsi sebagai kejahatan luar biasa! Cuma, kembali ke masalah tadi, bagaimana jutaan orang bisa menilai lalu mendukung salah satu pihak--seperti dilakukan facebookers--padahal tak mudah memastikan bentuk dan sifat korupsi kekuasaan di balik proses formal legalistik?"

"Kalau orang banyak begitu, penilaian bertolak dari pengalaman bersama bersifat umum, hingga masalah terakhir itu cuma salah satu dari semua pengalaman bersama yang dirasakan tentang praktek di balik proses formal legalistik--dalam hal ini yang dilakukan polisi!" jawab kakek. "Contoh, sebagian besar facebooker itu pernah mengurus SIM dengan tarif formal legalistik di formulir Rp52.500, tapi entah berapa yang mereka bayar! Ini membuat mereka bisa cepat memihak!"

"Penilaian orang banyak itu bisa salah, jika kali ini polisi melakukannya dengan benar!" timpal cucu.

"Memang!" tegas kakek. "Tapi kasus terakhir ini bagi mereka cuma pemicu, sedang tujuan mereka perbaikan praktek formal legalistik polisi secara komprehensif dan mendasar, mengubah total budaya kerja polisi yang mereka anggap korup! Karena itu, kalau mereka salah dalam kasus ini, tekanan opini mereka justru akan jadi lebih besar, karena selain penasaran, kasus terakhir ini juga cuma sasaran antara! Masalahnya, kenapa diberi peluang dapat pemicu trigger factor !?"

0 komentar: