Kata Kunci

Blogumulus by Roy Tanck and Amanda Fazani

Kontroversi Hukum dan Keadilan! (2)


"PALING tragis dalam kontroversi hukum dan keadilan pada kasus cicak lawan buaya, Komisi III DPR gagal mengartikulasi nurani rakyat yang prokeadilan!" ujar Umar.

"Dengan gaya bahasa normatif lazimnya penguasa, DPR membendung tsunami aspirasi rakyat yang melanda Polri dan Kejaksaan Agung--tanpa kecuali Presiden sudah menyelematkan diri dengan pelampung darurat buatannya, tim verifikasi fakta dan proses kasus Bibit-Chandra! Sepekan penuh, siang dan malam sampai larut, lewat rapat dengan Kapolri, Jaksa Agung, dan KPK baik masing-masing maupun bersama-sama yang juga disiarkan langsung televisi nasional, DPR berusaha merasionalisasikan retorika penguasa prohukum! Hasilnya DPR puas sendiri, sedang rakyat yang diwakilinya justru kian kecewa pada sikap DPR yang tidak aspiratif itu!"

"Komisi III DPR memang terjebak merasionalisasi bahasa retorika penguasa prohukum, sehingga saat koalisi LSM antikorupsi yang mereka undang rapat dengar pendapat menyampaikan esensi hati nurani rakyat prokeadilan, mereka malah berang, ngacir meninggalkan tamu yang mereka undang itu!" sambut Amir. "Fatalnya ketika anggota DPR Komisi III sendiri, Prof.

Gayus Lumbun, yang lelah sepanjang pekan itu berputar-putar di retorika penguasa hukum ingin masuk ke esensi masalah, kebenaran fakta hukum kasus Bibit-Chandra, malah ditolak Jaksa Agung maupun sikap rekan sekomisinya! Prof. Gayus Lumbun pun walk out!"

"Apa penyebab semua itu terjadi?" kejar Umar.

"Masih soal bahasa, khususnya yang telah dirusak oleh retorika!" jawab Amir. "Hal itu bisa dipahami lewat jawaban Kong Fu-tze saat ditanya muridnya, apa target awalnya jika memegang kekuasaan? Saya perbaiki bahasa! Selama penggunaan bahasa tak beres (seperti dalam retorika--BEW), maka yang diucapkan bukanlah yang dimaksud, yang dimaksud tidak dikerjakan, dan yang dikerjakan bukan yang dimaksud! Hukum pun jadi kacau, pemerintah ruwet, negara berantakan!"

"Jawaban guru yang hidup di abad 5 SM itu kena sekali pada retorika dengan bahasa normatifnya!" timpal Umar. "Terutama penguasa bidang hukum yang oleh presiden diyakini telah terkooptasi oleh markus--makelar kasus--hingga pengganyangannya masuk prioritas program 100 hari kabinetnya!"

"Maka itu, jika penguasa tak bisa keluar dari retorika, tenggelam dalam bahasa normatif yang bertentangan dengan realitas dan hati nurani rakyat yang sedang menggelinding, pemerintah akan selalu terjebak dalam keruwetan yang dibuat sendiri!" tegas Amir. "Pemerintah dalam hal ini penguasa hukum ngotot ngalor sedang rakyatnya nguncluk ngidul seperti terjadi dalam kontroversi hukum dan keadilan kini, negara meski secara fisik masih utuh dalam persatuan dan kesatuan, tapi dalam batin dan pemikiran sebenarnya telah berantakan seperti kata Kong Fu-tze!" ***

0 komentar: