"KILAU badik berkelebat di ruang sidang paripurna DPRD Kota Bandar Lampung, Jumat!" ujar Umar. "Kata berita, penyebabnya ada anggota Dewan terhormat itu ngeyel interupsi melulu, membuat sejumlah warga pengunjung sidang jadi kesal! Beberapa warga mendekatinya, si anggota Dewan lari dan diikuti warga! Melihat anggota Dewan diudak warga, seorang pria menyela di antara anggota Dewan dan warga, menghentikan para pengudak! Saat itulah kilau badik berkelebat!"
"Begitulah potret demokrasi kita, dilihat pada sisi aktornya!" timpal Amir. "Potret DPRD Provinsi lain lagi! Para anggotanya kini 'ketempuhan' harus mengganti dana operasional Dewan yang pernah mereka pakai berdasar perda buatan mereka! Rupanya perda itu dibatalkan Pusat, sehingga mereka harus tanggung konsekuensinya!"
"Wakil rakyat di Pusat juga tak kalah menarik kisahnya!" tegas Umar. "Kalau di lapis bawah cenderung heboh tak menentu akibat anggota Dewan terlalu ngeyel, di lapisan
"Bagaimana cara memaksakannya?" tanya Amir.
"Meski lewat segala jalur dan bentuk opini publik di pers (media massa) secara nasional menolak pembangunan gedung baru DPR berbiaya lebih satu triliun di tengah kehidupan mayoritas rakyat yang sedang sulit, DPR tetap memutuskan akan melanjutkan pembangunan gedung itu!" tegas Umar. "Lalu, opini publik lewat media massa itu mereka tolak sebagai suara rakyat, dalihnya kalau mau suara rakyat harus menanya satu per satu 237 juta rakyat Indonesia!"
"Huahaha..., konyol sekali pengetahuan tentang demokrasi wakil rakyat kelas Pusat itu!" entak Amir. "Mereka tak tahu media massa—cetak dan elektronik—sebagai ekspresi dan aktualisasi suara rakyat melakukan pemilihan umum lewat pasar setiap hari (market electoral system). Jika sehari saja mengecewakan karena tak mengekspresikan aspirasi rakyat, si media ditinggalkan audiens yang membiayai hidupnya, tamatlah riwayatnya! Karena itu, pada 1791 AS melakukan amendemen pertama konstitusinya yang baru berusia 14 tahun untuk mendaulat pers sebagai pilar keempat negara demokrasi yang berfungsi sebagai ekspresi dan aktualisasi aspirasi rakyat!"
"Potret demokrasi dari aktornya—dari bawah, menengah dan atas, sama menyedihkannya!" tegas Umar. "Tapi aktor demokrasi di panggung politik enak, pemilunya lima tahun sekali—rakyat sempat lupa tingkah polahnya!" ***
0 komentar:
Posting Komentar