HASIL penelitian 550 ahli dari 100 negara selama tiga tahun tentang keanekaragaman hayati dan ekosistem dikemas dalam empat laporan terbaru Perserikatan Bangsa-Bangsa, dipresentasikan pada pertemuan ilmuwan di Medelin, Kolombia, Jumat (23/3/28). Salah satu laporan itu mengenai kehancuran dan kemunduran keanekaragaman hayati di dunia. Hal itu disebut sudah sangat parah sehingga membahayakan ekonomi, mata pencarian, ketahanan pangan, akses air minum, serta kualitas hidup masyarakat dunia. Keanekaragaman hayati merupakan jantung dari kehidupan, budaya, identitas, sekaligus kenikmatan hidup manusia. "Kita harus bertindak untuk menghentikan (kepunahan) dan mengembalikan fungsi alam yang berkelanjutan atau ini berisiko tidak hanya untuk masa depan, tapi kehidupan yang kita jalani saat ini," ujar Robert Watson, Ketua Layanan Keanekaragaman Hayati dan Ekosistem (IPBES), Platform Ilmu Pengetahuan Antarpemerintah, seperti dikutip Kompas.com (24/3) dari Newsweek. Menurut laporan itu, pada tahun-tahun mendatang perubahan iklim hanya akan menambah tekanan lebih besar terhadap keanekaragaman hayati di dunia. Para peneliti menemukan di Amerika telah terjadi penurunan 50% air tawar terbarukan per orang sejak 1960-an. Di Eropa, 42 spesies hewan serta tumbuhan darat cenderung menurun dalam ukuran populasi pada dekade terakhir. Jika hal ini terus berlanjut, para ilmuwan memprediksi Amerika akan kehilangan 15% dari tanaman dan hewan pada 2050. Sedangkan wilayah Asia-Pasifik akan kehabisan stok ikan pada 2048 akibat penangkapan ikan komersial. Tidak hanya itu, Afrika bahkan diperkirakan kehilangan separuh spesies mamalia dan burung pada 2100. "Keanekaragaman hayati dan alam sangat berguna bagi manusia, baik dalam akademis maupun kehidupan sehari-hari kita," ujar Watson. "Tidak ada yang jauh lebih benar, mereka adalah fondasi dari makanan kita, air bersih, dan energi." Krisis lingkungan menuju kehancuran dunia seperti dilaporkan PBB itu terjadi akibat perubahan iklim dan pemanasan global yang disulut oleh terus makin tingginya tingkat pencemaran emisi karbon di permukaan bumi. Emisi karbon terbesar disumbang oleh cerobong asap pabrik-pabrik besar di negara-negara maju. Ironisnya, AS sebagai penyumbang 15% emisi karbon dunia, di bawah Presiden Trump justru mundur dari Kesepakatan Iklim Paris 2015 yang mengikat 187 negara untuk menjaga kenaikan temperatur global jauh di bawah 2oC (3,6oF) dan membatasi pada 1,5oC.
Kata Kunci
Blogumulus by Roy Tanck and Amanda Fazani
0 komentar:
Posting Komentar