Kata Kunci

Blogumulus by Roy Tanck and Amanda Fazani

Pilkada DPRD Pasung Hak Rakyat!

MENKO Polhukam Wiranto menanggapi usul mengembalikan pilkada kepada DPRD bukan pemilihan langsung seperti saat ini, menukas, "Apakah (dengan begitu) demokrasi makin sehat? Apakah hak rakyat tidak terpasung?" Menurut Wiranto, pengambilan kebijakan menyangkut hak warga negara dan sistem demokrasi yang sedang dikembangkan tidak semudah membalikkan telapak tangan. "Itu harus paralel dengan mereformasi manusianya. Kalau sistem diubah, tetapi kelakuan manusianya tidak diubah, ya sama saja. Amburadul juga," tegasnya. (MI, 11/4) Lebih celaka lagi, dalam memasung hak warga negara itu, praktiknya justru memasung kedaulatan rakyat. Ini jelas menyentuh esensi kemerdekaan yang menetapkan kedaulatan negara berada di tangan rakyat. Kedaulatan ini tidak boleh dirampas oleh siapa pun dari tangan rakyat. Dengan prinsip kedaulatan di tangan rakyat itu, yang pertama adalah rakyat memilih langsung orang yang mewakilinya memimpin negara dan menjalankan pemerintahan di semua tingkat (eksekutif): presiden, gubernur, bupati dan wali kota, sampai kepala desa. (Jadi lurah yang diangkat, bukan dipilih, bisa menyalahi tradisi demokrasi ini). Kedua, rakyat memilih wakilnya di legislatif untuk melakukan check and balanced dalam pengelolaan pemeritahan secara musyawarah dan mufakat dengan eksekutif. Dalam demokrasi langsung itu, di negara demokrasi maju bahkan dari kekuasaan yudikatif (dalam arti penegakan hukum) juga ada yang dipilih langsung oleh rakyat. Di tingkat negara bagian yang dipilih langsung oleh rakyat adalah jaksa, sedang di tingkat distrik rakyat memilih sherif. Jadi proses penegakan hukum juga harus berorientasi kepentingan negara yang mencerminkan kedaulatan rakyat. Demokrasi langsung tersebut bubrah kalau eksekutif dipilih oleh legislatif. Sedangkan di sisi lain, Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) menyatakan pilkada lewat DPRD tidak akan bisa mengatasi politik uang, sekaligus tidak menjamin bebas korupsi. Titi menegaskan biaya politik tinggi tidak bisa dijadikan alasan untuk mengubah sistem dari pilkada langsung menjadi pilkada lewat DPRD. Justru para calon kepala daerah yang sering menjebak dirinya sendiri dalam ongkos politik yang mahal. "Biaya politik yang menjebak kepala daerah, justru dikeluarkan untuk hal-hal yang haram dilakukan dalam hukum pilkada," tegas Titi. (Kompas.com, 11/4) Nah, yang salah para calon dan kepala daerah, kok hak kedaulatan rakyat yang mau dirampas.

0 komentar: