PEMERINTAH Indonesia melakukan serangan balik atas diskriminasi terhadap industri minyak sawit Indonesia oleh Resolusi Parlemen Uni Eropa (UE) yang menghentikan program biodiesel Eropa berbahan minyak sawit (CPO) pada 2021, dengan alasan menjadi penyebab deforestasi hutan hujan. Kampanye negatif antisawit Parlemen UE itu diikuti masyarakat Eropa. Parlemen Norwegia misalnya, mengumumkan agar pemerintahnya melarang ikut lelang peserta yang terkait sawit dan aneka produk turunannya. Di Inggris, ritel supermarket Iceland yang punya 900 cabang supermatket Selasa (10/4/2018) mengumumkan akan menghentikan penggunaan minyak sawit pada berbagai produknya di akhir 2018. Tindakan Iceland ini mereduksi impor CPO hingga 500 ton setahun. Atas semua kampanye negatif itu, Pemerintah Indonesia siap melakukan perang dagang terhadap negara-negara yang menerapkan diskriminasi terhadap minyak sawit dan produk turunannya. Namun Indonesia mengingatkan perang dagang bisa merugikan semua pihak. Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita mengatakan Indonesia tidak hanya menggunakan strategi bertahan, tetapi juga melakukan serangan balik terhadap negara-negara dimaksud. "Dengan Norwegia saya panggil duta besarnya dan saya sampaikan, saya juga siap hentikan impor ikan," ujar Enggar. (Kompas, 11/4/2018) Indonesia mengimpor ikan salmon untuk kebutuhan hotel dan restoran dari Norwegia dan Jepang. Kalau impor dari Norwegia dihentikan bisa diisi dari Jepang. Sejumlah perusahaan penerbangan Indonesia juga siap menghentikan pembelian Airbus, produk unggulan Uni Eropa. Saat penandatanganan kerja sama Lion Air Group dengan Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) untuk penelitian minyak sawit sebagai bahan bakar pesawat, Dirut Lion Air Group Edward Sirait menandatangani kesepakatan dengan Boeing untuk pembelian 50 unit pesawat B737 Max 10 yang lebih irit dan efisien di kelasnya. Menlu Retno Marsudi dan Menko Kemaritiman Luhut Panjaitan menggalang kerja sama dengan negara-negara Afrika yang juga penghasil sawit. Kampanye negatif sawit yang bagi Indonesia menyangkut nasib 17 juta petani, juga menjadi persoalan negara-negara berkembang karena 12 negara produsen sawit merupakan negara berkembang. Di ASEAN, sawit juga merupakan unggulan Malaysia dan Thailand yang telah menyatukan langkah dengan Indonesia menghadapi kampanye negatif Uni Eropa. Jika semua produsen sawit melakukan serangan balik bersama, telak juga pukulannya. ***
Kata Kunci
Blogumulus by Roy Tanck and Amanda Fazani
0 komentar:
Posting Komentar