FENOMENA peningkatan suhu permukaan bumi yang intens dan ekstrem saat ini akan terjadi selama empat tahun ke depan. Florian Sevellec dan tim peneliti dari National Center of Scientific Research (Inggris) melaporkan hasil penelitian metode PROCAST (PRObabilistic foreCAST), dipetik Independent UK, Rabu (15/8). Selama empat tahun ke depan—atau bahkan lebih—kita akan melihat fenomena suhu tinggi yang tidak wajar. Menurut Sevellec, fenomena itu bukan lagi perubahan iklim antropogenik atau efek rumah kaca yang sering diisukan sebagai penyebab utama pemanasan global. Melalui metode penelitian itu terlihat bentuk-bentuk baru penyebab perubahan iklim muncul lebih banyak yang bukan disebabkan oleh perilaku manusia. Prediksi Sevellec, suhu udara mungkin akan sangat tinggi pada 2018—2022. Hal itu diikuti meningkatnya suhu permukaan laut. Ia berharap fenomena tersebut perlu mendapat perhatian khusus karena tingginya panas—pada kondisi tertentu—bisa menyebabkan badai tropis. Turut meningkatnya suhu permukaan laut itu juga menunjukkan gejala hiatus yang terjadi sepanjang 1998 hingga 2013 telah berakhir. Hiatus adalah sebuah gejala perubahan suhu permukaan global melambat karena laut menyerap panas yang berlebih kemudian mendistribusikan energi ke dalam bumi. (Kompas.com, 15/8) Untuk mengatasi pemanasan global yang terus meningkat, tahun lalu muncul gagasan rekayasa iklim atau geoengineering. Beberapa ilmuwan percaya menembakkan aerosol sulfat ke angkasa akan membantu mendinginkan bumi. Ide ini datang dari erupsi gunung berapi, ketika terjadi letusan, aerosol yang terbentuk saat erupsi terlempar ke atmosfer menciptakan lapisan efektif yang menghalangi sinar matahari. Bumi pun menjadi dingin karena sinar matahari terhalang. Namun, peneliti University of Exeter yang menyimulasikan injeksi aerosol menemukan dampak buruknya, memengaruhi iklim antara tahun 2020—2070. Peneliti juga menemukan adanya konsekuensi negatif, antara lain kekeringan dan angin topan. Penyemprotan di belahan bumi utara akan menimbulkan kekeringan di sub-Sahara dan India. "Baik untuk sebagian daerah, tetapi akan buruk untuk bagian lain di bumi," kata Anthony Jones, peneliti tersebut, dikutip Kompas.com dari Verge (14/11/2017). Usaha mengurangi pemanasan global lewat membatasi buangan CO2, saat ini terhambat oleh sikap Trump menarik AS dari kesepakatan Paris. Bumi pun jadi bertambah panas. ***
Kata Kunci
Blogumulus by Roy Tanck and Amanda Fazani
0 komentar:
Posting Komentar