SAAT jumpa pers di rumah Prabowo Subianto, Senin (30/7), Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menyebut jumlah orang miskin Indonesia mencapai 100 juta orang. Itu cukup mengejutkan karena dikemukakan justru saat data Badan Pusat Statistik (BPS) pada Maret 2018 jumlah orang miskin Indonesia hanya satu digit (9,82%), terendah sepanjang sejarah. Atas pernyataan SBY selaku ketua umum Partai Demokrat itu Menteri Sekretaris Negara Praktikno dari Kompleks Istana Kepresidenan meminta SBY tidak mengeluarkan asumsi soal jumlah orang miskin di Indonesia. "Lihat saja data statistik. Kan barusan survei. Jadi ini jangan asumsi," ujar Pratikno. (Kompas.com, 31/7/2018) Dengan menyebut angka kemiskinan 100 juta orang itu sebenarnya SBY mengeliminasi prestasinya sendiri selama 10 tahun menjadi presiden (2004—2014), yang telah menurunkan jumlah orang miskin dari 36,15 juta jiwa atau 16,66% pada 2004 menjadi 27,73 juta jiwa atau 10,96% pada September 2014. Tepatnya, dalam 10 tahun berkuasa SBY mengurangi jumlah orang miskin sebanyak 8,42 juta jiwa atau 5,70%. Politik apakah gerangan yang membuat SBY menjadi gelap mata terhadap data sehingga tega nian mengeliminasikan prestasi 10 tahun kepemimpinannya sendiri, kurang jelas. Namun, bagaimana pun juga, bangsa ini tetap menghargai setinggi-tingginya sumbangsihnya yang amat besar tersebut terhadap arti kemerdekaan bangsa, dengan telah membebaskan belenggu kemiskinan dari 8,42 juta orang. Hal itu tentu layak menjadi perhatian bagi para politikus dari kubu mana pun untuk menghargai karya atau prestasi siapa pun dalam membangun bangsa ini, untuk tidak ditutup dengan klaim pernyataan bombastis yang pada dasarnya dilakukan secara buta data. Pantas disadari, rakyat sekarang sudah kritis dan tidak mudah lagi diperbodoh tanpa dasar data yang benar. Rakyat, dari remaja hingga orang dewasa kini sehari-hari bermain telepon pintar, dengan mudah mendapatkan data yang benar. Mereka terbiasa mendapatkan gambaran terukur dengan data. Justru kalangan elitenya yang suka bicara bombastis, malah lebih cenderung buta data, atau membutakan dirinya dari data. Selain telah terbiasa mendapatkan gambaran terukur berbasis data, rakyat juga kini sudah pada tahap menuntut bukti dari setiap ucapan. Apa bukti kerja Jokowi? Kalau di Lampung, misalnya, jalan tol dari tiada menjadi ada, dermaga di Bakauheni dari empat jadi tujuh, bandara jadi berkelas internasional, warga miskin dapat berbagai bantuan terkait PKH.
Kata Kunci
Blogumulus by Roy Tanck and Amanda Fazani
0 komentar:
Posting Komentar