MANTAN Presiden RI BJ Habibie dalam suratnya kepada Presiden Jokowi agar meninjau kembali keputusan eksekusi terpidana mati asal Pakistan Zulfikar Ali, menyarankan untuk mempertimbangkan kembali kebijakan moratorium hukuman mati.
Menurut Habibie, lebih dari 140 negara di dunia sudah menerapkan kebijakan moratorium atau penghapusan hukuman mati. Ia mengaku tahu betul tantangan narkoba di Indonesia. Namun, ia meragukan bahwa hukuman mati dapat mengurangi peredaran narkoba dan penggunaan ilegal. Ia mencontohkan di beberapa negara seperti Swedia, ternyata sangat mungkin memerangi narkoba tanpa hukuman mati. (Kompas.com, 29/7/2016)
Habibie tidak sendiri. Sekjen PBB Ban Ki-moon Kamis (28/7/2016) juga mendesak Presiden Jokowi untuk menunda eksekusi para terpidana mati narkotika, juga mendesak agar mengumumkan moratorium pelaksanaan hukuman mati.
Pernyataan Ban didasari hukum internasional, hukuman mati hanya bisa digunakan untuk kejahatan yang sangat serius. "Kejahatan narkoba secara umum tidak termasuk kategori ini," ujar Ban. (Kompas.com, 28/7/2016)
Mengenai terpidana mati Zulfikar Ali, dalam suratnya itu Habibie menyatakan, dari laporan para advokat dan lembaga swadaya masyarakat yang telah mempelajari kasus-kasus hukuman mati, warga negara Pakistan itu dinilai tidak bersalah.
Proses hukum kurang memadai untuk hukuman mati juga terjadi pada terpidana asal Nias, Yusman Telaumbanua dan Rasulah Hia, yang berdasar surat pembaptisan gereja, saat vonis hukuman mati dijatuhkan masih berusia 16 tahun, belum dewasa. Ini menyalahi ketentuan hukum di Indonesia yang berlaku universal. Karena itu, Kementerian Hukum dan HAM menjemput kedua terpidana mati itu dari Nusakambangan dan diamankan ke LP Tangerang, padahal seharusnya dieksekusi Jumat (29/7/2016) dini hari lalu.
Artinya, sebelum sistem dan praktik hukum di Indonesia benar-benar ideal, apalagi saat para pembuat UU dan aparat hukum menjadi penghuni terbanyak penjara tindak pidana korupsi, desakan Habibie dan Ban Ki-moon untuk melakukan moratorium hukuman mati justru mencegah terjadinya keranjingan hukuman mati tanpa didasari sistem dan proses hukum yang memadai (excellent).
Keranjingan hukuman mati, banyak orang dieksekusi mati tanpa proses hukum memadai, terjadi pada masa pemerintahan Amangkurat I (1646—1677), menjadi episode terburuk dalam sejarah Indonesia. Karena itu, keranjingan hukuman mati harus dicegah agar di era kemerdekaan ini peradaban kita tidak malah mundur 500 tahun. ***
Selanjutnya.....
Habibie tidak sendiri. Sekjen PBB Ban Ki-moon Kamis (28/7/2016) juga mendesak Presiden Jokowi untuk menunda eksekusi para terpidana mati narkotika, juga mendesak agar mengumumkan moratorium pelaksanaan hukuman mati.
Pernyataan Ban didasari hukum internasional, hukuman mati hanya bisa digunakan untuk kejahatan yang sangat serius. "Kejahatan narkoba secara umum tidak termasuk kategori ini," ujar Ban. (Kompas.com, 28/7/2016)
Mengenai terpidana mati Zulfikar Ali, dalam suratnya itu Habibie menyatakan, dari laporan para advokat dan lembaga swadaya masyarakat yang telah mempelajari kasus-kasus hukuman mati, warga negara Pakistan itu dinilai tidak bersalah.
Proses hukum kurang memadai untuk hukuman mati juga terjadi pada terpidana asal Nias, Yusman Telaumbanua dan Rasulah Hia, yang berdasar surat pembaptisan gereja, saat vonis hukuman mati dijatuhkan masih berusia 16 tahun, belum dewasa. Ini menyalahi ketentuan hukum di Indonesia yang berlaku universal. Karena itu, Kementerian Hukum dan HAM menjemput kedua terpidana mati itu dari Nusakambangan dan diamankan ke LP Tangerang, padahal seharusnya dieksekusi Jumat (29/7/2016) dini hari lalu.
Artinya, sebelum sistem dan praktik hukum di Indonesia benar-benar ideal, apalagi saat para pembuat UU dan aparat hukum menjadi penghuni terbanyak penjara tindak pidana korupsi, desakan Habibie dan Ban Ki-moon untuk melakukan moratorium hukuman mati justru mencegah terjadinya keranjingan hukuman mati tanpa didasari sistem dan proses hukum yang memadai (excellent).
Keranjingan hukuman mati, banyak orang dieksekusi mati tanpa proses hukum memadai, terjadi pada masa pemerintahan Amangkurat I (1646—1677), menjadi episode terburuk dalam sejarah Indonesia. Karena itu, keranjingan hukuman mati harus dicegah agar di era kemerdekaan ini peradaban kita tidak malah mundur 500 tahun. ***