RESPONS amat cepat mengeluarkan larangan main Pokemon Go dari Istana Kepresidenan, BIN, Menteri PAN-RB, Kapolri, dan mungkin lain lagi, mencerminkan betapa naifnya penguasa terhadap game.
Padahal, game masa kini itu substitusi permainan anak-anak dan remaja masa lalu, rajutan awal kebudayaan masyarakat. Dan Pokemon Go, identik dengan main petak umpet.
Kenaifan itu tampak pada ketakutan jika game itu dimainkan di lingkungan instansi penting seperti objek vital, gambar-gambarnya bisa dibaca intelijen. Padahal dengan Google Map sekarang ini setiap jengkal lokasi di muka bumi bisa di-zoom sejelas yang diinginkan. Juga dengan satelit-satelit pencitra, sampai lapisan-lapisan perut bumi bisa diketahui jenis mineral isinya.
Jadi, tak ada lagi tempat yang bisa dinyatakan terbatas bagi intelijen super masa kini--yang tentu bukan model spion melayu. Akibatnya, larangan-larangan seperti itu malah hanya mengesankan ketakutan berlebihan penguasa terhadap hal-hal sekecil apa pun yang bisa mengusiknya dalam menikmati kekuasaan.
Permainan anak-anak dan remaja sebagai rajutan awal kebudayaan tentu sesuai dengan zamannya. Pada zaman baheula dengan alat permainan tradisional, congklak dan egrang sebagai perantinya, permainannya gobak sodor (di Sumatera galasin, margala) sampai petak umpet. Sedang anak dan remaja sekarang, tentu dengan peranti sesuai budaya masa kini, yakni gadget dengan jaringan selulernya.
Tema dan kreativitas permainan juga relevan dengan konteks zamannya. Tema persaingan antara dua kelompok lebih menonjol dalam permainan lama yang berorientasi menggalang tim kerja sama dan kebersamaan. Sedangkan game sekarang lebih berorientasi kreativitas individu, relevan dengan budaya zamannya yang cenderung kian individualistik.
Itu karena budaya masyarakatnya cenderung terbawa latar belakang budaya asal teknologi yang dipakainya. Maka itu, dengan permainan atau game sebagai rajutan awal budaya, justru melalui kreativitas game-lah diharapkan bisa dikembangkan game-game yang mendorong kembali anak-anak dan remaja terbiasa dengan budaya asli masyarakatnya yang berorientasi paguyuban, bukan patembayan individualis.
Untuk itu layak didukung upaya Asosiasi Game Indonesia (AGI) menjadikan tanggal 8 Agustus 2016 sebagai Hari Game Indonesia. Tujuannya bukan hanya mengembangkan kreativitas pembuatan game yang berakar kultur bangsa, juga mengatasi dominasi game asing dengan meraih pangsa pasar lokal 50% pada 2020. ***
Kenaifan itu tampak pada ketakutan jika game itu dimainkan di lingkungan instansi penting seperti objek vital, gambar-gambarnya bisa dibaca intelijen. Padahal dengan Google Map sekarang ini setiap jengkal lokasi di muka bumi bisa di-zoom sejelas yang diinginkan. Juga dengan satelit-satelit pencitra, sampai lapisan-lapisan perut bumi bisa diketahui jenis mineral isinya.
Jadi, tak ada lagi tempat yang bisa dinyatakan terbatas bagi intelijen super masa kini--yang tentu bukan model spion melayu. Akibatnya, larangan-larangan seperti itu malah hanya mengesankan ketakutan berlebihan penguasa terhadap hal-hal sekecil apa pun yang bisa mengusiknya dalam menikmati kekuasaan.
Permainan anak-anak dan remaja sebagai rajutan awal kebudayaan tentu sesuai dengan zamannya. Pada zaman baheula dengan alat permainan tradisional, congklak dan egrang sebagai perantinya, permainannya gobak sodor (di Sumatera galasin, margala) sampai petak umpet. Sedang anak dan remaja sekarang, tentu dengan peranti sesuai budaya masa kini, yakni gadget dengan jaringan selulernya.
Tema dan kreativitas permainan juga relevan dengan konteks zamannya. Tema persaingan antara dua kelompok lebih menonjol dalam permainan lama yang berorientasi menggalang tim kerja sama dan kebersamaan. Sedangkan game sekarang lebih berorientasi kreativitas individu, relevan dengan budaya zamannya yang cenderung kian individualistik.
Itu karena budaya masyarakatnya cenderung terbawa latar belakang budaya asal teknologi yang dipakainya. Maka itu, dengan permainan atau game sebagai rajutan awal budaya, justru melalui kreativitas game-lah diharapkan bisa dikembangkan game-game yang mendorong kembali anak-anak dan remaja terbiasa dengan budaya asli masyarakatnya yang berorientasi paguyuban, bukan patembayan individualis.
Untuk itu layak didukung upaya Asosiasi Game Indonesia (AGI) menjadikan tanggal 8 Agustus 2016 sebagai Hari Game Indonesia. Tujuannya bukan hanya mengembangkan kreativitas pembuatan game yang berakar kultur bangsa, juga mengatasi dominasi game asing dengan meraih pangsa pasar lokal 50% pada 2020. ***
0 komentar:
Posting Komentar