TIONGKOK menolak putusan Mahkamah Arbitrase Internasional yang membatalkan klaim mereka atas hampir semua wilayah perairan strategis Laut Tiongkok Selatan (LTS).
Penolakan Tiongkok itu diikuti aksi-aksi unjuk kekuatan, menjadi sumbu baru konflik di kawasan LTS, karena "sembilan garis batas" yang diklaim Tiongkok mencakup zona ekonomi eksklusif (ZEE) negara-negara ASEAN, termasuk ZEE Indonesia di Natuna.
Tiongkok sejak awal memboikot sidang Mahkamah Internasional di Den Haag itu. Beberapa hari sebelum sidang itu, Tiongkok menggelar latihan militer di kawasan yang disengketakan itu. Xinhua melaporkan sebuah pesawat terbang sipil Tiongkok berhasil melakukan tes kalibrasi di dua bandara baru di Kepulauan Spratly di LTS. Kedua bandara baru itu di pulau karang Mischief dan Subi, fasilitas yang memungkinkan pemindahan personel di Kepulauan Spartly (Kompas.com, 12/7/2016).
Masih di hari mahkamah itu memutuskan, Kementerian Luar Negeri Tiongkok menolak putusan tersebut. "Keputusan itu tak memiliki kekuatan yang mengikat. Tiongkok takkan menerima keputuaan itu," tegas Kemenlu RRT.
Dubes Tiongkok untuk AS, Cui Tiankai, dikutip AFP, mengatakan di Washington keputusan arbitrase itu akan meningkatkan konflik bahkan konfrontasi. Menurut Cui, keputusan itu akan merusak atau melemahkan motivasi negara-negara untuk terlibat dalam negosiasi dan konsultasi untuk mengatasi sengketa mereka. Pada akhirnya, putusan itu akan melemahkan otoritas dan efektivitas hukum internasional, tambah Cui (Kompas.com, 13/7/2016).
Di sisi lain, Pemerintah AS menegaskan keputusan Mahkamah Arbitrase yang menyebut Tiongkok tak memiliki hak historis atas seluruh kawasan LTS bersifat mengikat secara hukum. Keputusan itu didukung PBB. Australia juga meminta Beijing untuk menghargai keputusan Mahkamah Arbitrase.
Di ASEAN, tempat klaim sembilan garis batas Tiongkok mencakup wilayah ZEE Vietnam, Thailand, Malaysia, Indonesia, Brunei, dan Filipina, hanya Filipina selaku penggugat ke mahkamah internasional yang menyambut putusan itu.
Menlu Filipina Perfecto Yasay menyatakan Pemerintah Filipina menegaskan komitmennya untuk mencari resolusi damai dan pengelolaan sengketa sambil tetap mempromosikan dan menegakkan perdamaian serta stabilitas kawasan.
Sedang Indonesia merespons protes Kemlu Tiongkok atas penangkapan nelayan mereka di Natuna, Presiden Jokowi langsung hadir dengan kapal perang di kawasan LTS. Solusi Indonesia: Ini dadaku! ***
Tiongkok sejak awal memboikot sidang Mahkamah Internasional di Den Haag itu. Beberapa hari sebelum sidang itu, Tiongkok menggelar latihan militer di kawasan yang disengketakan itu. Xinhua melaporkan sebuah pesawat terbang sipil Tiongkok berhasil melakukan tes kalibrasi di dua bandara baru di Kepulauan Spratly di LTS. Kedua bandara baru itu di pulau karang Mischief dan Subi, fasilitas yang memungkinkan pemindahan personel di Kepulauan Spartly (Kompas.com, 12/7/2016).
Masih di hari mahkamah itu memutuskan, Kementerian Luar Negeri Tiongkok menolak putusan tersebut. "Keputusan itu tak memiliki kekuatan yang mengikat. Tiongkok takkan menerima keputuaan itu," tegas Kemenlu RRT.
Dubes Tiongkok untuk AS, Cui Tiankai, dikutip AFP, mengatakan di Washington keputusan arbitrase itu akan meningkatkan konflik bahkan konfrontasi. Menurut Cui, keputusan itu akan merusak atau melemahkan motivasi negara-negara untuk terlibat dalam negosiasi dan konsultasi untuk mengatasi sengketa mereka. Pada akhirnya, putusan itu akan melemahkan otoritas dan efektivitas hukum internasional, tambah Cui (Kompas.com, 13/7/2016).
Di sisi lain, Pemerintah AS menegaskan keputusan Mahkamah Arbitrase yang menyebut Tiongkok tak memiliki hak historis atas seluruh kawasan LTS bersifat mengikat secara hukum. Keputusan itu didukung PBB. Australia juga meminta Beijing untuk menghargai keputusan Mahkamah Arbitrase.
Di ASEAN, tempat klaim sembilan garis batas Tiongkok mencakup wilayah ZEE Vietnam, Thailand, Malaysia, Indonesia, Brunei, dan Filipina, hanya Filipina selaku penggugat ke mahkamah internasional yang menyambut putusan itu.
Menlu Filipina Perfecto Yasay menyatakan Pemerintah Filipina menegaskan komitmennya untuk mencari resolusi damai dan pengelolaan sengketa sambil tetap mempromosikan dan menegakkan perdamaian serta stabilitas kawasan.
Sedang Indonesia merespons protes Kemlu Tiongkok atas penangkapan nelayan mereka di Natuna, Presiden Jokowi langsung hadir dengan kapal perang di kawasan LTS. Solusi Indonesia: Ini dadaku! ***
0 komentar:
Posting Komentar