PEMERINTAH melalui Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo meminta maaf kepada masyarakat terkait banyaknya persoalan dalam layanan mudik. Kemacetan parah di tol Brebes Timur yang berujung pada tewasnya belasan pemudik menjadi sorotan masyarakat.
"Saya Mendagri, atas nama pemerintah, menyampaikan permohonan maaf kepada masyarakat yang mudik, khususnya kepada keluarga yang tertimpa musibah," kata Tjahjo, Sabtu (Kompas.com, 9/7/2016).
Menurut Tjahjo, pemerintah telah berusaha maksimal mempercepat pembuatan jalan tol dan perbaikan jalan itu dilakukan untuk memudahkan dan memberi kenyamanan masyarakat dalam arus mudik dan arus balik. "Adanya musibah dan masih adanya kekurangnyamanan dalam perjalanan menjadi evaluasi kami, pemerintah, khususnya Kemdagri," ujar Tjahjo.
Data resmi Dinas Kesehatan dan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Brebes, Jawa Tengah, sebanyak 17 pemudik meninggal di kawasan itu selama arus mudik sejak 29 Juni hingga 5 Juli 2016.
Sejumlah korban meninggal keracunan CO2 setelah terjebak macet dalam mobil pribadi lebih enam jam dengan kondisi AC menyala. Korban jenis ini antara lain Azizah (1) asal Kutoarjo dan Suhartiningsih (49) asal Jakarta.
Korban terbanyak penumpang bus yang terjebak kemacetan antara lain Sundari (58), asal Purworwjo, dari bus PK; Susyani (36), asal Cibinong, dari bus RI; Suharyati (50), dari bus SA; Poniatun (46), asal Kebumen, dari bus ZT.
Komisioner Ombudsman Adrianus Meliala menilai kemacetan parah di jalur tol Brebes Timur disebabkan tak adanya antisipasi peningkatan volume kendaraan. Arus mudik tahun mendatang harus memperhitungkan berbagai kemungkinan, termasuk skenario terburuk yang mungkin terjadi. Kemungkinan terburuk itu dipublikasikan untuk diketahui masyarakat.
Idealnya, setelah jatuh korban jiwa, sumbatan arus kendaraan pada loket pembayaran tol dibuka dengan menggratiskan kendaraan pemudik lewat. Jumlah kendaraan yang lewat tetap dihitung, agar berapa kerugian untuk penyelamatan nyawa manusia yang lebih banyak lagi itu nanti diganti pemerintah.
Untuk itu, pemerintah mempertimbangkan nilai nyawa seorang warga negara lebih tinggi dari kerugian materi yang harus ditanggung negara akibat kebijakan melepas pemudik dari jebakan macet belasan jam.
Kebijakan itu bisa diambil jika negara—dalam bentuk kewenangan membuat kebijakan—hadir di tengah kemacetan fatal itu. Tapi, akibat negara tak hadir, sampai belasan yang tewas dibiarkan terus berlanjut. ***
"Saya Mendagri, atas nama pemerintah, menyampaikan permohonan maaf kepada masyarakat yang mudik, khususnya kepada keluarga yang tertimpa musibah," kata Tjahjo, Sabtu (Kompas.com, 9/7/2016).
Menurut Tjahjo, pemerintah telah berusaha maksimal mempercepat pembuatan jalan tol dan perbaikan jalan itu dilakukan untuk memudahkan dan memberi kenyamanan masyarakat dalam arus mudik dan arus balik. "Adanya musibah dan masih adanya kekurangnyamanan dalam perjalanan menjadi evaluasi kami, pemerintah, khususnya Kemdagri," ujar Tjahjo.
Data resmi Dinas Kesehatan dan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Brebes, Jawa Tengah, sebanyak 17 pemudik meninggal di kawasan itu selama arus mudik sejak 29 Juni hingga 5 Juli 2016.
Sejumlah korban meninggal keracunan CO2 setelah terjebak macet dalam mobil pribadi lebih enam jam dengan kondisi AC menyala. Korban jenis ini antara lain Azizah (1) asal Kutoarjo dan Suhartiningsih (49) asal Jakarta.
Korban terbanyak penumpang bus yang terjebak kemacetan antara lain Sundari (58), asal Purworwjo, dari bus PK; Susyani (36), asal Cibinong, dari bus RI; Suharyati (50), dari bus SA; Poniatun (46), asal Kebumen, dari bus ZT.
Komisioner Ombudsman Adrianus Meliala menilai kemacetan parah di jalur tol Brebes Timur disebabkan tak adanya antisipasi peningkatan volume kendaraan. Arus mudik tahun mendatang harus memperhitungkan berbagai kemungkinan, termasuk skenario terburuk yang mungkin terjadi. Kemungkinan terburuk itu dipublikasikan untuk diketahui masyarakat.
Idealnya, setelah jatuh korban jiwa, sumbatan arus kendaraan pada loket pembayaran tol dibuka dengan menggratiskan kendaraan pemudik lewat. Jumlah kendaraan yang lewat tetap dihitung, agar berapa kerugian untuk penyelamatan nyawa manusia yang lebih banyak lagi itu nanti diganti pemerintah.
Untuk itu, pemerintah mempertimbangkan nilai nyawa seorang warga negara lebih tinggi dari kerugian materi yang harus ditanggung negara akibat kebijakan melepas pemudik dari jebakan macet belasan jam.
Kebijakan itu bisa diambil jika negara—dalam bentuk kewenangan membuat kebijakan—hadir di tengah kemacetan fatal itu. Tapi, akibat negara tak hadir, sampai belasan yang tewas dibiarkan terus berlanjut. ***
0 komentar:
Posting Komentar