KEDUA, UMR dan harga beras: Mari kita bandingkan daya beli masyarakat pada 1998 dan hari ini dengan memakai perbandingan UMR dan harga beras. Pada Juli 1998, besaran UMR Rp192 ribu per bulan. Harga beras medium saat itu Rp2.800 per kilogram. Artinya pada saat itu rakyat dengan UMR-nya hanya dapat membeli 69 kg beras per bulan. Saat ini UMR Rp3,648 juta per bulan, sedangkan harga beras medium sesuai dengan harga eceran tertinggi (HET) berada di kisaran Rp9.500 hingga Rp10 ribu per kg. Dengan demikian, saat ini dengan UMR-nya rakyat bisa membeli 364 kg hingga 384 kg beras setiap bulan. Jika dibanding dengan kemampuan rakyat membeli beras tahun 1998 dan saat ini, kemampuan membeli beras naik dari 69 kg menjadi 384 kg per bulan atau naik sekitar 315 kg lebih banyak per bulan. Peningkatan ini hampir enam kali lipat dari 1998. Dari perbandingan-perbandingan tersebut, tentu tidak tepat jika nilai tukar dolar hari ini yang berada di kisaran Rp14.400 disamakan dengan kegentingan ekonomi yang sama dengan tahun 1998. Hanya ada dua kemungkinan kenapa ada orang-orang yang menyamakan nilai tukar dolar hari ini sudah segenting 20 tahun lalu. Pertama, mereka itu hanya melihat angka kurs dolar terhadap rupiah, tetapi tidak mengetahui angka-angka lainnya, termasuk UMR. Artinya data yang dimiliki orang-orang itu sangat minim, sedangkan nafsu bicara mereka sangat besar. Kedua, mereka paham data-data tersebut, tetapi mencoba mendramatisasi situasi seolah menakutkan dan berbahaya. Opini sedemikian bisa jadi didesain untuk tujuan politik. Desainer opini bermotif politik itu tentu berharap rakyat percaya nilai tukar rupiah terhadap dolar di pemerintahan Jokowi seolah-olah sedang berada dalam situasi yang persis sama dengan situasi 20 tahun lalu. Celakanya, pandangan yang dikelirukan itu sering secara sistematis cepat tersebar dan viral di medsos. Sementara pemerintah kini tidak lagi punya juru penerang yang bertugas menyampaikan informasi yang benar kepada rakyat, seperti di zaman Departemen Penerangan dahulu. Kementerian Informasi dan Komunikasi zaman now cenderung lebih mengurusi peranti komunikasi, kecil sekali orientasinya ke konten informasi. Paling kalau ada yang agak aneh langsung diberangus atau diblokir peranti komunikasinya. Pengelolaan kontra isu lemah. Kalau perkeliruan sudah terlalu jauh, langsung Presiden yang meluruskan. Terakhir muncul Ali Ngabalin yang reaktif melawan isu. Inikah solusi jitu istana? *** (Habis)
Kata Kunci
Blogumulus by Roy Tanck and Amanda Fazani
0 komentar:
Posting Komentar