UNTUK melawan AS dalam perang dagang setelah Presiden Trump memperingatkan Indonesia tentang defisit neraca perdagangan AS terhadap RI, maka kita harus mengurangi makan roti, mi, dan makanan lain yang berbahan asal gandum karena setahunnya kita impor gandum dari AS lebih dari 10 juta ton. Dalam perang dagang, suatu ketergantungan bisa dijadikan senjata untuk menyerang lawan. Ketergantungan impor gandum kita dari AS, dengan demikian bisa menjadi masalah baik terkait kenaikan harga maupun tarifnya. Maka kalau kita tidak siap dengan kemungkinan dimainkannya gandum dalam perang dagang, kita bisa kelimpungan akibat kekurangan salah satu bahan pangan pokok rakyat tersebut. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan impor gandum sepanjang 2017 mencapai 11,4 juta ton. Volumenya meningkat 9% dibanding dengan realisasi 2016 sebesar 10,53 juta ton. (Katadata, 23/2/2018) Trump melakukan perang dagang dengan semua negara yang neraca perdagangan AS defisit, ditopang ekonomi negerinya yang membaik berkat konsisten melanjutkan kebijakan mantan Gubernur The Fed Janet Yellen menaikkan suku bunga acuan bertahap, sehingga modal AS berduyun-duyun pulang kampung membangun negeri. Itu diperkuat lagi dengan hasil eksplorasi minyak bumi sepanjang dekade sebelumnya yang menemukan banyak sumur minyak serpih (shell) sehingga kini AS menjadi produsen minyak bumi terbesar dunia dengan 10,6 juta barel per hari (bph), dibanding dengan Arab Saudi sekitar 9,5 juta bph. Kalau sebelumnya AS merupakan negara utama pengimpor energi, kini berbalik menjadi eksportir energi, termasuk mengekspor ke Tiongkok. Sebaliknya Indonesia, dari eksportir minyak bumi anggota OPEC kini jadi importir. Dengan kekuatan modal, industri dan energi yang sedemikian besar, jelas AS berani menantang perang dagang dengan semua negara di dunia. Namun, kalau tujuannya hanya untuk mem-balancing neraca perdagangan, dengan memberlakukan tarif tinggi bea masuk untuk semua produk negara lain yang masuk ke negerinya, dalam jangka panjang bisa menjadi bumerang. Seberapa lama industri dan rakyat negerinya mampu membayar kemahalan harga untuk segala kebutuhan akibat kenaikan bea masuk tersebut? Logika perang, pengorbanan rakyat selalu ada batasnya. Dan itu mungkin, sebatas Presiden Trump bisa menepuk dada mencapai klimaks kepuasan unjuk keperkasaannya. Artinya, masa mengurangi makan roti dan mi itu tidak pula terlalu lama. Cukup sebagai keprihatinan selama perang dagang.
Kata Kunci
Blogumulus by Roy Tanck and Amanda Fazani
0 komentar:
Posting Komentar