Artikel Halaman 8, Lampung Post Kamis 13-02-2020
Dekade Fatalnya Deindustrialisasi!
H. Bambang Eka Wijaya
DEKADE 2007-2017 jadi era fatalnya deindustrialisasi di Indonesia. Pada 2002 kontribusi industri manufaktur ke PDB sebesar 27,9%, pada 2007 menjadi 27,4%. Tapi pada 2017, kontribusi industri manufaktur ke PDB menjadi 20,5%, dalam satu dekade turun 6,9%.
Dalam kajian "Potret Industri Manufaktur Indonesia Sebelum dan Pasca-Krisis" (fiskal.kemenkeu.go.id, 3/2/2020) diuraikan, industri manufaktur Indonesia 2002 yang jadi patokan perkembangan, realitasnya hanya puing pasca-krisis moneter 1997-1998.
Dalam priode 1996-2002 jumlah perusahaan industri berskala besar dan sedang menurun hampir 1.800 unit usaha atau sekitar 8% dari 22.997 unit usaha tahun 1996.
Itu diperburuk realisasi kapasitas produksi (utilisasi kapasitas). Pemanfaatan kapasitas terpasang industri manufaktur tahun 2002 hanya berkisar di 60%, menurun jauh dibanding sebelum krisis berkisar 80%.
Seiring itu, daya saing Indonesia terus merosot dari peringkat 43 pada tahun 2000, turun ke 46 pada 2001, ke 47 (2002), ke 57 (2003), dan 2004 di peringkat 58 dari 60 negara yang diteliti institut managemen World Economic Forum (WEF). Ternyata daya saing Indonesia pada 2019 di peringkat 50, merosot dari 45 pada 2018.
Kenapa industri manufaktur Indonesia pasca-krisis tak bisa bangkit kembali, bahkan terus merosot? Ada tiga penyebabnya.
Pertama, penyelesaian krisis lebih berorientasi pada pengembalian dana talangan, bukannya rehabilitasi dengan menjaga usaha korban krisis tetap eksis; tapi malah dihabisi dengan dilelang murah meriah. Semestinya diberi kesempatan kedua.
Kedua, pemerintah selalu ngeyel menggantikan pengusaha domestik yang hancur dengan modal asing. Tapi karena bertentangan dengan cita-cita para Bapak Pendiri Bangsa, sejak pasca-krisis hingga tahun terakhir data Badan PBB UNCTAD penanaman modal asing langsung (FDI) ke Indonesia setiap tahun hanya sekitar 6% dari pembentukan modal tetap bruto (PMTB). Pengalaman Jepang, Korea Selatan, Tiongkok dan India, upaya memajukan industri diandalkan pada pengusaha nasional, bukan modal asing.
Ketiga, para konglomerat yang menikmati booming komoditas sawit tak segera meluaskan sayap ke industri hilir sawit. Idealnya, mereka yang mengembangkan industri manufaktur.
Semua kesalahan berlanjut, deindustrialisasi kian dalam dan lapangan kerja makin ciut, tapi pendidikan yang disalahkan seolah lulusanya tak bisa kerja. Padahal kalau lapangan kerjanya ada, anak bangsa selalu mampu, apalagi cuma jadi buruh, ***
0 komentar:
Posting Komentar