Artikel Halaman 8, Lampung Post Selasa 11-02-2020
Kelas Menengah Tumbuh Melambat!
H. Bambang Eka Wijaya
DARI laporan antarwaktu Bank Dunia terlihat pertumbuhan kelas menengah Indonesia melambat. Menurut Lead Economist Bank Dunia Vivi Alatas di UI (12/11/2018) dari 2002 kelas menengah Indonesia 7%, pada 2017 menjadi 22%, tumbuh 1% per tahun. Lalu ada 45% lepas dari garis kemiskinan tapi belum berhasil masuk kelas menengah.
Kemudian dalam laporan Bank Dunia terakhir yang disampaikan World Bank Acting Country Director untuk Indonesia Rolande Pryce, 45% penduduk atau 115 juta penduduk yang belum berhasil masuk kelas menengah itu malah dalam kondisi rentan terpeleset kembali masuk jurang kemiskinan. Sedangkan jumlah kelas menengah Indonesia saat ini disebut 20% atau 52 juta orang. (Kompas.com, 30/1/2020)
Masalahnya, kenapa pertumbuhan kelas menengah Indonesia jadi melambat? Padahal, sejak jauh hari Sri Mulyani sudah mereka-reka jumlah kelas menengah Indonesia pada 2020 menjadi 85 juta orang.
Dengan populasi kelas menengah itu, mantan Menkeu Chatib Basri memperkirakan industri kreatif akan berkembang luar biasa, unlimited. Pola konsumsi masyarakat bergeser dari kebutuhan (needs) menjadi keinginan (wants).
Tapi nyatanya Bank Dunia justru melaporkan panjangnya barisan warga yang terancam kembali masuk jurang kemiskinan. Bukan kepalang pula, pemerintah mengajukan RUU Omnibus Law 'Cilaka', cipta lapangan kerja sebagai solusi: tingkat pengangguran terbuka (TPT) selama Jokowi berkuasa hanya rurun 0,53, dari 5,81% pada Februari 2015, menjadi 5,28% pada Agustus 2019.
Melambatnya barisan 45% warga masuk ke kelas menengah karena kebanyakan mereka keluar dari garis kemiskinan maupun TPT bukan karena kebangkitan nyata kekuatan ekonomi mereka. Melainkan, karena besarnya charitas lewat berbagai bantuan sosial dari pemerintah, dalam bentuk Program Keluarga Harapan (PKH), bantuan pangan non-tunai (BPNT) dan sebagainya.
Sementara banyak stimulan produktivitas yang dicurahkan ke sektor pertanian tanaman pangan, tak menjadi engine bagi petani masuk kelas menengah, karena secara nyata stimulan tersebut hanya menjadi soft breacker dari tekanan yang keras terhadap harga komoditas mereka untuk menjaga inflasi.
Tekanan terhadap harga komoditas hasil pertanian rakyat untuk menjaga laju inflasi itu membuat nilai tambah ekonomi hasil usaha tani selalu kandas di titik impas. Akhirnya, bukan barisan petani yang masuk ke kelas menengah, malah sebaliknya dari sektor pertanian paling rawan tergelincir kembali ke jurang kemiskinan. ***
0 komentar:
Posting Komentar