Kata Kunci

Blogumulus by Roy Tanck and Amanda Fazani

Pemerintah Mau Mengatur Pers Lagi!

Artikel Halaman 8, Lampung Post Rabu 19-02-2020
Pemerintah Mau Mengatur Pers Lagi!
H. Bambang Eka Wijaya

KOMUNITAS pers: AJI, IJTI, PWI, dan LBH Pers menolak upaya Pemerintah untuk campur tangan lagi dalam kehidupan pers. Niat untuk campur tangan lagi seperti era Orde Baru ini terlihat pada Omnibus Law Cipta Kerja yang akan membuat peraturan pemerintah tentang pengenaan sanksi bagi perusahaan media.
Undang-Undang Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers, yang menjadi payung hukum kebebasan pers saat ini, dibentuk dengan semangat self regulatory dan tak ada campur tangan pemerintah di dalamnya, tegas pernyataan komunitas pers.
Semangat itu tak bisa dilepaskan dari pengalaman buruk di masa Orde Baru, di mana pemerintah melakukan campur tangan sangat dalam di bidang pers. Campur tangan itu ditunjukkan melalui adanya kewenangan pemerintah untuk mencabut SIUPP (Surat Izin Usaha Penerbitan Pers), mengendalikan Dewan Pers dengan menempatkan Menteri Penerangan sebagai ketua secara ex-offocio, dan menetapkan hanya satu organisasi wartawan yang diakui.
Instrumen-instrumen itulah yang kemudian dipakai oleh pemerintah untuk mengendalikan dan mengekang pers.
Lahirnya UU Pers 1999 memiliki semangat untuk mengoreksi praktik buruk pemerintah Orde Baru dalam mengekang pers. Semangat itu tercermin antara lain dengan menegaskan kembali tak adanya sensor dan pemberedelan, Dewan Pers yang dibentuk oleh komunitas pers dan tanpa ada wakil pemerintah seperti masa Orde Baru.
UU tersebut juga memberi kewenangan kepada Dewan Pers untuk menyusun ketentuan lebih operasional dari UU itu. Artinya, kewenangan untuk mengimplementasikan UU ini sepenuhnya berada di tangan Dewan Pers, bukan melalui peraturan pemerintah seperti dalam undang-undang pada umumnya.
Dengan RUU Cipta Kerja ini mengusulkan adanya revisi agar ada peraturan pemerintah yang mengatur soal pengenaan sanksi administratif, itu adalah bentuk kemunduran bagi kebebasan pers. Ini sama saja dengan menciptakan mekanisme "pintu belakang" (back door), atau "jalan tikus", bagi pemerintah untuk ikut campur urusan pers.
"Kami mengkhawatirkan hal buruk di masa Orde Baru akan terulang, di mana pemerintah menggunakan dalih soal administratif untuk mengekang pers. Kami meminta revisi pasal tersebut dicabut," tegas komunitas pers.
Dengan demikan segala bentuk sanksi yang diusulkan, ikut dicabut dari RUU itu. Penaikan sanksi denda hingga 400% dari Rp500 juta menjadi Rp2 miliar terhadap perusahaan pers, semangatnya bukan lagi untuk mengoreksi atau mendidik, tapi lebih bernuansa balas dendam. ***




0 komentar: