Kata Kunci

Blogumulus by Roy Tanck and Amanda Fazani

Merdeka Belajar, Pendidikan Kerdil!

Artikel, Halaman 8, Lampung Post Sabtu 01-02-2020
Merdeka Belajar, Pendidikan Kerdil!
H. Bambang Eka Wijaya

KEBIJAKAN "Merdeka Belajar: Kampus Merdeka" Mendikbud Nadiem Makarim yang memangkas masa kuliah mahasiswa S-1 pada prodinya dari 8 Semester jadi 5 Semester, 2 Semester orientasi di luar prodinya, dinilai Darmaningtyas, pengamat pendidikan dari Tamansiswa, sebagai pengerdilan pendidikan.
"Pendidikan nasional akan makin kerdil kalau orientasi studi hanya kerja, kerja, dan kerja. Seharusnya kerja, mikir, dan kerjakan lagi dari yang dipikirkan. Unsur refleksi menjadi penting bagi mereka yang kuliah di universitas yang bertugas mencari kebenaran," ujar Darma saat dihubungi CNN-Indonesia. (25/1)
Dengan kebijakan tersebut, Darmaningtyas menyebut Nadiem tidak mengerti pendidikan tinggi di Indonesia. Mendikbud menyamakan institusi pendidikan tinggi di Indonesia yang terdiri dari univeraitas, politeknik, institut, dan sekolah tinggi.
"Karena tidak paham pendidikan tinggi, maka diasumsikan semua pendidikan tinggi harus melahirkan manusia pekerja," tukas Darma. Menurut dia, ruang untuk magang tepat jika diberikan kepada politeknik dan institut.
Darma menyayangkan kebijakan jika hanya mengusung orientasi pendidikan ke arah dunia kerja. Sebab, Indonesia juga membutuhkan lulusan-lulusan yang punya kemampuan di bidang ilmu pengetahuan.
Pengerdilan pendidikan dan kebudayaan dengan menghilangkan Direktorat Kesenian dari nomenklatur Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, diganti Direktorat Perfilman, Musik dan Media Baru juga diungkap budayawan Radhar Panca Dahana dalam tulisannya "Sakratul Maut Seni Budaya". (Kompas, 21/1) Kebijakan ini menurut Radhar membunuh beberapa cabang kesenian seperti teater (seni pertunjukan), lukis (seni rupa), tari, sastra, dan seni tradisi.
"Saya sungguh gagal paham, bagaimana seni dapat direduksi menjadi tiga bentuk yang notabene baru (teknologi modern) dalam implementasi praktisnya itu? Apa yang diketahuinya soal seni, sejarah, peran, posisi dan fungsinya dalam sejarah kebudayaan, peradaban, sejarah manusia (termasuk dirinya)?" tulis Radhar.
Kalau Darma menuding Nadiem tak mengerti pendidikan tinggi di Indonesia, Radhar menulis lugas, "Pengangkatan seorang tokoh muda, misalnya, yang hampir nihil rekam jejak, karya, kontribusi hingga dukungannya pada seni dan kebudayaan menjadi Menteri yang mengurus hal tersebut adalah kenyataan yang mengecewakan."
Keduanya berkesan, kita menyerahkan suatu urusan kepada yang bukan ahlinya. Dia ahli bidang lain, bukan ahli pendidikan dan kebudayaan. ***


0 komentar: