Artikel Halaman 8, Lampung Post Senin 03-02-2020
Perdangkal Galian Ilmu Mahasiswa!
H. Bambang Eka Wijaya
KULIAH dahoeloe diukiskan menggali ilmu. Ilmu yang digali dari tempat yang dalam, atau ilmu yang dalam, bernilai tinggi. Sedang ilmu yang dangkal, hasil galian di tempat dangkal, dinilai rendah, cetek.
Setiap lubang galian ilmu disebut program studi (prodi), ditetapkan luas dan dalamnya dengan limitasi (pembatasan) atau disiplin ilmu yang ketat. Dengan disiplin itu, semakin lama menggali ilmu, akan semakin banyak ilmu yang didapat, semakin dalam galiannya sesuai yang ditetapkan, tinggi pula nilai atau kualitas ilmunya.
Dalam tradisi universal kurikulum (berasal dari kata 'curere', berlari cepat) standar itu harus dipenuhi dengan kerja keras dosen dan mahasiswa. Lama menggali ilmu dan mengolahnya hingga selesai S-1 dengan kedalaman ilmu yang standar perlu waktu delapan semester. Tradisi ini universal, tak pernah dipermasalahkan.
Namun kini, oleh kebijakan bernama "Merdeka Belajar: Kampus Merdeka", masa menggali ilmu itu dipangkas dari delapan semester menjadi lima semester. Dua semester dari potongan itu digunakan mahasiswa untuk belajar di luar prodinya.
Jadi, penggalian ilmu oleh mahasiswa yang seharusnya mencapai kedalaman selama delapan semester itu dihentikan saat semester lima, kemudian mahasiswanya menggali ladang orang lain, di luar prodinya.
Secara nyata terjadi pendangkalan penggalian ilmu oleh mahasiswa, dari delapan semester jadi lima semester, sehingga ilmu mahasiswa juga jadi lebih dangkal.
Ketika mahasiswa kembali ke prodinya untuk menyusun skripsi dan ujian, bisa jadi fokusnya terhadap materi prodinya yang teralihkan selama dua semester itu menjadi ambyar, fokusnya kurang tajam.
Itu terjadi akibat salah persepsi, banyaknya pengangguran diasumsikan karena pendidikan tinggi di Indonesia kurang kegiatan ekstra kurikuler. Sehingga, perlu dibuat dua semester untuk itu. Padahal, link and match dengan dunia industri telah dibuat sejak Mendikbud Wardiman, 1993-1998.
Namun yang sebenarnya terjadi, bukan lulusan pendidikan tinggi tak mampu beradaptasi pada dunia kerja, tapi sektor industrinya yang mengalami Deindustrialisasi, lapangan kerja sektoralnya menciut.
Bisa dipahami betapa kecewa Jokowi lima tahun berkuasa, tingkat pengangguran terbuka (TPT) hanya turun 0,53%, dari 5,81% pada Februari 2015 menjadi 5,28% pada Agustus 2019. Namun, mengatasi itu perbaikan mestinya di sektor industri agar menambah serapannya terhadap tenaga kerja, bukan malah mengobrak-abrik sistem pendidikan nasional. ***
0 komentar:
Posting Komentar