Kata Kunci

Blogumulus by Roy Tanck and Amanda Fazani

Indonesia Kelangkaan Pressure Group!

Artikel Halaman 8, Lampung Post Selasa 14-07-2020
Indonesia Kelangkaan 'Pressure Group'!
H. Bambang Eka Wijaya

SAAT pasien baru positif Covid-19 memuncak lebih 2.600 dalam sehari pada Kamis (9/7) Presiden Jokowi menyalakan lampu merah kepada Gugus Tugas Penanganan Covid-19.
Demikian pula kala kinerja para menteri kedodoran, pencairan anggaran pandemi yang sudah empat bulan (awal Maret sampai akhir Juni) baru terealisasi 1,78%, yang marah-marah mengecam kelambanan kerja para menteri juga Presiden Jokowi.
Itu ironis, karena yang ditekan dan dimarahi itu sebenarnya bagian dari tanggung jawab Presiden. Sebab, Presiden yang membentuk, memilih personalia gugus tugas dan menteri serta mendelegasikan kewenangannya. Jadi, Presiden menekan dan memarahi tanggung jawabnya sendiri.
Hal itu terjadi karena Indonesia kelangkaan pressure group (kelompok penekan) yang efektif menjalankan fungsi kontrol terhadap pemerintah. Akibatnya, ketika ada ikhwal yang keterlaluan tapi tak ada yang melaksanakan fungsi kontrol, Presiden jadi gemas, lantas mengisi kekosongan peran tersebut.
Kontrol kelembagaan formal parlemen terhadap pemerintah belakangan tereduksi kenyataan, mayoritas partai di parlemen masuk gerbong pemerintah. Ketajaman kritisnya justru berbalik membela pemerintah.
Tersisa dua partai, PKS dan PD, nyatanya tak bisa membendung UU Minerba yang dipaksakan saat pandemi tanpa proses partisipasi rakyat. Padahal isinya merugikan rakyat, karena lebih memuluskan penjarahan lingkungan oleh oligarki pertambangan.
Kedua partai, PKS dan PD, saat dibutuhkan publik untuk memperkuat barisan menolak revisi UU KPK, bayangannya sulit ditemukan. Rupanya ikut di bawah payung oligarki.
Sementara kelompok penekan dari kalangan tokoh dan masyarakat, semisal Rizal Ramli, Amien Rais dan lainnya, meski ibarat petinju dikenal pukulannya bagus, variasi upper cut dan jabnya indah, tapi cuma dalam shadow boxing. Tak efektif pengaruhnya ke ring tinju formal.
Untung masih ada media yang kritis, seperti ILC dan Tempo, jadi tumpuan kuriositas masyarakat atas keanehan yang silih berganti nongol di panggung sandiwara.
ILC menjadi arena eksibisi tarung kedua kelompok, penekan dan pro-pemerintah unjuk kebolehan. Tapi sekadar eksibisi, rakyat bisa mendapatkan cerita dari para aktornya, tapi tidak berpengaruh pada realitasnya.
Tempo, dengan cover karikatural laporan utamanya menghunjam dasar masalah, mengekspresikan kegeraman rakyat. Meski realitasnya, anjing menggonggong salah tingkah jalan terus.
Maka itu, Jokowi berdwifungsi, penguasa dan penekan. ***





0 komentar: