Artikel Halaman 8, Lampung Post Rabu 01-07-2020
Praktik 'Herd Immunity" Terselubung!
H. Bambang Eka Wijaya
SEORANG penulis dari Bangka-Belitung, Safari ANS, menulis di WAG Prioritas, "Mudah bagi gubernur dan bupati nakal agar catatan di daerahnya penderita Covid-19 kecil bahkan nihil. ...Dengan anggaran yang terbatas sekarang, mereka perkecil petugas tes. Sebab, makin sedikit orang yang tes, maka semakin kecil pula angka penderita yang terdeteksi."
Dengan angka penderita Covid-19 yang kecil apalagi nihil itu, daerahnya tentu mencatat reputasi baik di mata pemerintah pusat, sebagai daerah yang berhasil menangani wabah Vovid-19. Berbagai penghargaan dan hadiah pun diterima kepala daerah.
Itu kebalikan dari dari daerah yang melakukan secara maksimal tes di daerahnya. Seperti kata juru bicara pemerintah untuk penanganan Covid-19 Ahmad Yurianto, "Tinggginya angka kasus baru positif Covid-19 terjadi sebagai hasil tes yang semakin masif."
Jadi, semakin sedikit tes dilakukan, semakin kecil pula jumlah kasus yang terdeteksi. Tapi ini punya sedikintnya dua konsekuensi.
Pertama, karena tidak dicari dan dijaring pendetitanya, pencegahan penularannya kurang efektif, populasi pembawa virusnya semakin masif dalam masyarakat. Akibatnya, penuntasan pandeminya semakin lama.
Kedua, dengan kecilnya tes sebagai pencarian dan penjaringan pembawa virus Covid-19, secara diam-diam dalam masyarakaat terjadi proses herd immunity, orang-orang yang sempat tertular sembuh sendiri berkat immunitas (kekebalan) tubuhnya melawan virus. Sampai akhirnya nanti, yang tersisa dalam masyarakat hanya orang-orang yang kebal dari virus korona. Selebihnya, berkat Covid-19 mendapatkan kemuliaan, syahid.
Dengan demikian, proses berhemat-hemat melakukan tes, sekadar asal ada tes saja, atau hanya dilakukan untuk memenuhi syarat membeli tiket, bisa menjadi praktik herd immunity terselubung.
Kecenderungan seperti itu di daerah tertentu mungkin menjadi dasar koran Australia Sidney Morning Herald memprediksi Indonesia bisa menjadi episentrum baru Covid-19.
Kita tentu tak perlu ribet membantah media asing yang beritanya mengandung peringatan buat kita. Karena yang terbaik kita introspeksi, berbenah diri, melihat kemungkinan ada yang harus kita lakukan untuk mencegah agar Indonesia tidak menjadi episentrum baru.
Kalau di Lampung misalnya, apakah sudah menjalankan saran WHO untuk melakukan 1.000 tes per sejuta penduduk per minggu? Artinya, dengan 9 juta penduduk lampung, sudahkah melakukan 9.000 tes setiap minggu?
Kalau belum, apa berarti siap syahid?? ***
0 komentar:
Posting Komentar