Artikel Halaman 8, Lampung Post Minggu 21-02-21
Buzzer, Fenomena Global
Diteliti Oxford University!
H. Bambang Eka Wijaya
DISINFORMASI ulah buzzer jadi fenomena global. Hasil penelitian tentang buzzer di 70 negara, termasuk Indonesia, diterbitkan Oxford University berjudul "The Global Disinformation Order 2019; Global Inventory of Organise Social Media Manipulation".
Dalam penelitian itu buzzer disebut sebagai pasukan siber, yakni instrumen pemerintah atau aktor partai politik yang bertugas memanipulasi opini publik secara online.
Laporan itu konprehensif mendalami organisasi formal pasukan siber di seluruh dunia dan bagaimana para aktor ini menggunakan propaganda komputasi untuk tujuan politik.
Penelitian ini menemukan variasi skala dan waktu pemanfaatan tim buzzer di berbagai negara. Tim muncul untuk sementara di sekitar pemilihan atau untuk membentuk sikap publik seputar agenda politik penting.
Namun ada buzzer yang diintegrasikan ke dalam lanskap media dan komunikasi dengan staf yang bekerja penuh waktu. Mereka bekerja untuk mengontrol, menyensor, dan membentuk percakapan serta informasi online. Beberapa tim terdiri dari beberapa orang yang mengelola ratusan akun palsu.
"Di negara seperti Tiongkok, Vietnam atau Venezuela, tim besar orang dipekerjakan oleh negara untuk secara aktif membentuk opini publik," tulis laporan itu dikutip Kompas.com (12/2/2021)
Buzzer ini menggunakan berbagai strategi komunikasi. Penelitian ini mengkategorikan kegiatan buzzer. Pertama, menciptakan disinformasi atau media yang dimanipulasi.
Kedua, pelaporan konten atau akun secara massal. Keriga, strategi berbasis data. Keempat, trolling, doxing, mengganggu atau menyerang orang, akun, atau media.
Penciptaan disinformasi atau media yang dimanipulasi adalah strategi yang paling umum. Di 52 datpri 70 negara yang diteliti, pasukan siber secara aktif membuat konten seperti meme, video, situs web berita palsu, atau media yang dimanipulasi untuk menyesatkan warganet.
Laporan itu menyebut Indonesia termasuk dalam kategori pemanfaatan tim buzzer berkapasitas rendah. Artinya, praktik ini melibatkan tim kecil yang aktif selama pemilihan, tapi menghentikan kegiatan sampai pemilihan berikutnya.
Juru Bicara Kepresidenan, Fadjroel Rachman, saat buzzer jadi buah bibir pekan lalu, membantah pemerintah memakai buzzer. Padahal dalam suatu anggaran di awal pandemi ada tercantum dana untuk influencer Rp72 miliar. Ada artis juga mengaku dibayar untuk promosi program pemerintah. Dan ICW, menemukan belanja pemerintah untuk buzzer Rp98 miliar. ***
0 komentar:
Posting Komentar