Artikel Halaman 8, Lampung Post Rabu 03-02-2021
Indeks Korupsi RI Longsor 17 Tingkat!
H. Bambang Eka Wijaya
PERINGKAT global Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia 2020 longsor 17 tingkat jadi 102 dari 180 negara, dari peringkat 85 pada 2019. Itu terjadi akibat skor IPK RI 2020 turun 3 poin menjadi 37, dari 40 pada 2019. Skor 0 berarti sangat korup, 100 bersih dari korupsi.
Transparency International (TI) Indonesia merilis IPK global 2020 di Jakarta pekan lalu. (28/1/2021). Indeks rata-rata global 43/100, sedangkan rata-rata Asia-Pasifik 45/100.
Delia Fereira Rubio, Ketua TI saat meluncurkan IPK Global 2020 di Berlin mengatakan Covid-19 yang melanda semua negara tanpa kecuali tak hanya menimbulkan krisis ganda kesehatan dan ekonomi, tapi juga krisis korupsi dan kemunduran demokrasi.
Sejumlah temuan dan kajian TI menyatakan, korupsi yang merusak pelayanan publik juga berpotensi sepanjang penanganan Covid-19. Skor IPK dengan jelas mengungkap dekadensi dan kemerosotan dalam upaya pemberantasan korupsi oleh sebagian besar negara, bahkan dalam situasi pandemi sekalipun.
Peneliti TI Indonesia Wawan Suyatmiko dikutip VOA-Indonesia (29/1) menyatakan, dengan kemerosotan akor dan peringkat IPK itu, posisi IPK Indonesia setingkat Gambia, negara kecil yang relatif terbelakang di Afrika Barat.
Namun, skor Indonesia 37 masih lebih baik dari negara ASEAN lainnya, seperti Vietnam, Thailand, Filipina, Laos dan Kamboja. Meski, jauh di bawah Singapura (skor 85), Brunei (60), Malaysia (51), dan Timor Leste (40).
Terdapat sejumlah indikator IPK yang membuat skor Indonesia turun yakni ekonomi, investasi, kemudahan berusaha, integritas politik, dan kualitas demokrasi.
Atas terpuruknya IPK ini, saran TI Indonesia untuk memperbaikinya antara lain, "Kami juga menyerukan bahwa merawat demokrasi dan mempromosikan partisipasi warga pada ruang publik. Pelibatan kelompok masyarakat sipil dan media pada akses pembuatan kebijakan harus dijamin oleh Pemerintah dan DPR agar kebijakan tersebut akuntabel."
Semua sisi yang diungkap TI lewat kaca mata global maupun domestik itu bagi warga awam negeri ini merupakan pengalaman empirik.
Yaitu, dari korupsi besar dan masif justru saat pandemi, sampai kemunduran demokrasi yang fatal dengan mengekang partisipasi publik dalam menyusun sejumlah UU, dari revisi UU KPK, UU Minerba, dan Omnibus Law UU Cipta Kerja. Akibatnya kekuasaan jadi absolut tak tersentuh kritik publik, sehingga rumusan Lord Acton "Power tend to corrupt, absolut power corrupt absolutly", dipraktikkan telanjang di negeri ini. ***
0 komentar:
Posting Komentar