Kata Kunci

Blogumulus by Roy Tanck and Amanda Fazani

Paradoks Retorika Berantas Korupsi!

Artikel Halaman 8, Lampung Post Senin 25-02-2021
Paradoks Retorika Berantas Korupsi!
H. Bambang Eka Wijaya

JIKA disimak saksama jelas, retorikanya pemberantasan korupsi. Tapi dari hasil survei berbagai lembaga domestik dan internasional yang terlihat diberantas justru pemberantasan korupsi itu sendiri. Itulah paradoksnya retorika pemberantasan korupsi di Indonesia.
Hanya dalam sebulan terakhir ini saja tersaji dua hasil survei global. Kesatu, Transparency International (TI) yang menunjukkan Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia 2020 longsor 17 tingkat ke peringkat 102 dari 180 negara, dari 2019 peringkat 85 dunia.
Kedua, survei The Economist Inteligence Unit Indeks Demokrasi Indonesia pada 6,30 dari skala 1-10, terendah selama 14 tahun terakhir. Kenapa Indeks Demokrasi digandengkan dengan Indeks Korupsi? Pasalnya, para pakar menisbatkan kemunduran demokrasi tersebut akibat terjadinya "korupsi politik". 
Terakhir, Lembaga Survei Indonesia (LSI) merilis hasil surveinya, dalam dua tahun terakhir pemerintahan Jokowi korupsi justru meningkat.
Dari 1.000 responden yang mayoritas pengusaha, akademisi dan aktivis media, menurut Direktur Eksekutif LSI Djayadi Hanan, 58,3% menilai terjadi peningkatan korupsi. Hanya 8,5% yang menganggap ada penurunan, dan 25,2% berpendapat tidak ada perubahan.
"Korupsi politik" didefinisikan Yudi Latif (Kompas, 11/2/2021) "adalah penyelenggaraan amanah kekuasaan oleh pemimpin politik untuk keuntungan pribadi dengan tujuan meningkatkan kekuasaan dan kekayaan melalui cara memperdagangkan pengaruh atau menguntungkan pihak tertentu yang berdampak meracuni politik dan membahayakan demokrasi".
Penisbatan pada "korpsi politik" karena kemunduran yang seiring demokrasi dan pemberantasan korupsi sebagai konsekuensi proses legislasi sejumlah UU oleh DPR dan pemerintah yang mengesampingkan urgensi partisipasi rakyat. Itu mulai dari revisi UU KPK, UU Minerba, hingga UU Cipta Kerja.
Hasilnya, UU KPK berubah jadi memberantas pemberantasan korupsi, RUU Minerba malah melegalisasi pengerukan batu bara untuk ekspor sejuta ton sehari sejak 2019 hanya untuk keuntungan besar oligarki pertambangan, dengan royalti batubara 2% sampai 7% dari harga per ton, jauh lebih kecil dengan bagi hasil tambang minyak bumi 57% untuk negara. Lalu UU Cipta Kerja mengancam kelestarian alam dan martabat kaum buruh.
Demikian paradoks retorika pemberantasan korupsi, yang dalam realitasnya justru berbiak ragam jenis korupsi yang membahayakan demokrasi. Ketika demokrasi tertekan rakyat takut bicara, korupsi merajalela. ***




0 komentar: