Artikel Halaman 8, Lampung Post Minggu 14-02-2021
Terpengaruh Radikalisme
1.250 WNI ke Irak-Suriah!
H. Bambang Eka Wijaya
AKIBAT terpengaruh paham radikalisme, 1.250-an orang warga negara Indonesia (WNI) berangkat ke Irak dan Suriah. Sebagian mereka tewas dalam perang antarkelompok di Arab itu, sebagian lagi ditawan atau dalam tahanan.
Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Komjen Boy Rafli Amar menyebut, bahkan ada perempuan dan anak-anak WNI di pengungsian Timur Tengah.
"Hari ini akibat setujunya mereka dengan apa yang ditawarkan dalam konten narasi radikalisasi itu, mereka rela berangkat ke Irak dan Suriah. Jadi tercatat dari data keberangkatan itu ada 1.250-an," ujar Boy pada tayangan akun YouTube BNPT, Jumat (5/2).
Mereka,,para WNI tersebut, lanjut Boy, terpapar paham radikalisme lewat media sosial maupun secara langsung yang mempengaruhi pola pikir mereka.
Boy berupaya mencegah agar tak ada lagi WNI berangkat ke Irak atau Suriah. Ia juga berupaya agar tak ada lagi WNI yang melakukan tindak pidana terorisme, apalagi menjadi pelaku bom bunuh diri,
Untuk itu ia menyambut baik terbitnya Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 7 Tahun 2021 tentang Rencana Aksi Nasional (RAN) Pencegahan dan Penanggulangan Ekstremisme Berbasis Kekerasan yang Mengarah pada Terorisme 2020-2024 (PE).
Dengan Perpres RAN-PE yang ditandatangani Presiden Jokowi 6 Januari itu, ia berharap, masyarakat bisa menjadi resisten terhadap penyebaran paham radikal berbasis kekerasan.
"Perpres ini lebih berbicara ke upaya-upaya preventif dan preemtif dalam bekerja sama dengan semua pihak, membangkitkan sikap-sikap resiaten terhadap radikalisasi," jelas Boy. (Kompas.com, 5/2)
RAN-PE adalah serangkai program untuk dilaksanakan berbagai kementerian/lembaga untuk memitigasi ektremisme berbasis kekerasan.
RAN-PE diharapkan dapat menjadi acuan utana implementasi penanggulangan ekstremisme berbasis kekerasan yang mengarah pada terorisme, bunyi Perpres.
Dalam lampiran Perpres RAN-PE terdapat program pemolisian masyarakat. Masyarakat dilatih cara untuk membuat laporan ke polisi jika menduga ada yang terlibat ekstremisme.
Direktur Amnesty International Indonesia Usman Hamid menilai, program pemolisian itu rentan memicu konflik horisontal.
"Pihak berwenang harus memastikan bahwa pelibatan masyarakat tidak menimbulkan kecurigaan dan konflik horisontal baru antarwarga. Melibatkan masyarakat dalam pendekatan kultural melalui cara-cara dialog kebudayaan lebih tepat ketimbang pendekatan hukum kriminal melalui cara-cara pelaporan," ujar Usman. ***
0 komentar:
Posting Komentar