"BUAT apa ketupat plastik dari parsel kakek simpan?" tanya cucu.
"Semula mau kakek gantung di atas pintu depan pada H plus 7," jawab kakek. "Teringat masa kecil di desa, pada H plus 7 atau 9 Syawal orang merayakan selesainya puasa Syawal enam hari dengan Hari Raya Ketupat—
menggantung ketupat di atas pintu rumah!"
"Kan mubazir ketupat digantung di pintu?" kejar cucu.
"Pagi itu anak-anak membawa galah keliling kampung, memanen ketupat dari pintu ke pintu!" jawab kakek. "Hari Raya Ketupat isyarat telah disempurnakannya semua ibadah Ramadan dan Idulfitri! Sedang ketupat di atas pintu simbol semangat Ramadan dan Idulfitri yang sempurna itu dijadikan bekal menjalani kehidupan sepanjang tahun! Puasa Syawal yang melengkapi puasa Ramadan jadi sama dengan berpuasa sepanjang tahun, lewat Hari Raya Ketupat semangatnya diambil untuk mengamalkan sikap moral dan perilaku orang sedang berpuasa dalam sepanjang tahun menjalani hidup!"
"Dahsyat sekali nilai di balik tradisi itu!" timpal cucu. "Tradisi memelihara mental pada standar nilai ideal sepanjang tahun! Kenapa tradisi itu tak berkembang ke kota, di desa juga kian kurang menonjol?"
"Itu cuma salah satu dari sekian banyak tradisi kita yang kena erosi arus westernisasi berlabel modernisasi!" jawab kakek. "Akibatnya, orang yang merasa dirinya modern bertingkah kebarat-baratan, bukan cuma ogah mengikuti tradisi, malah menilai tradisi itu kuno hingga ditinggalkan karena dianggap kolot kalau mengamalkannya!"
"Bertingkah sok barat tanpa kendali internal atas sikap dan perilakunya, sedang nilai dari tradisi lama untuk kendali dirinya telah ditinggalkan, bagaimana kehidupan dijalaninya?" tanya cucu.
"Itulah kondisi urban ala Indonesia!" tegas kakek. "Kendali internal dirinya secara tradisional telah ditinggalkan, sedang secara barat moralitas hukumnya belum solid! Hingga, andalan untuk mengendalikan sikap dan perliku justru dari luar diri, yakni pelaksanaan hukum! Saat jangkauan hukum pada seluruh warga relatif terbatas, lalu pelaksanaan hukumnya juga masih jauh dari harapan, maka terjadilah urban shock—segala bentuk kejahatan merajalela, dari rampok, tipu, hipnotis, sampai korupsi!"
"Tapi belakangan gelombang religiositas warga urban (perkotaan) terus membesar!" timpal cucu.
"Gelombang itu diharapkan mampu menekan urban shock, agar negara yang religius ini tak lagi berjuluk terkorup di dunia!" tegas kakek. "Tentu, harapan itu terwujud jika gelombang religiositas urban itu bukan cuma ketupat plastik—gelombang simbolis produk hipokritisme!"
Kata Kunci
Blogumulus by Roy Tanck and Amanda Fazani
Selasa, 21 September 2010
Hari Raya Ketupat dan 'Urban Shock'!
Label:
perkotaan,
Urban Shock
Langganan:
Posting Komentar
0 komentar:
Posting Komentar