Kata Kunci

Blogumulus by Roy Tanck and Amanda Fazani

Ke Depan atau ke Belakang ‘Sami Mawon’!


"PAGI-PAGI muka kecut, mules ya?" tegur bukde pada Budi yang pertama dibawa ayahnya mudik ke Yogya. "Ke belakang sana, agar mukamu manis kembali!"
"Ke belakang ngapain?" Budi tanya ayahnya.
"Ke belakang buang air!" jelas ayah. "Di sini umumnya kamar mandi dan toilet di bagian belakang rumah!"

Hari kedua Lebaran, mudiknya lanjut ke Sukoharjo, Solo, rumah keluarga ibu Budi. "Muka Budi kok kecut? Mules?" tegur bibinya. "Ke depan sana, agar kembali ceria!"
"Ke depan ngapain?" Budi tanya ayah.


"Maksudnya sama dengan saat bukde Yogya menyuruh kamu ke belakang!" jawab ayah. "Sami mawon!"
"Masak ke belakang dan ke depan sama?" kejar Budi.
"Karena di Sukoharjo, pemilik pekarangan luas membuat sumur, kamar mandi, toilet, dan tempat wudu di bagian depan rumah!" jelas ayah.

"Kalau begitu aku mau sami mawon!" ujar Budi.
"Tunggu!" cegat ayahnya. "Sami mawon maksudnya sama saja, bukan tujuan ke belakang di Yogya atau ke depan di Sukoharjo!"
"Nah, lebih kacau lagi! Setelah ke belakang dan ke depan sinonim, kini maksud dan tujuan menjadi dua hal berbeda, kontroversial!" entak Budi. "Gejala apa bahasa jadi kacau makna itu?"

"Pemakaian bahasa memang bisa kontekstual dan kasuistik! Itu penyebab orang terjebak kekacauan makna!" jawab ayah.

"Kalau kontroversi masih dalam konteks realitas seperti beda tempat toilet di Yogya dan Sukoharjo mendingan, tak ada konsekuensi sosio-politis-kultural! Celakanya gejala itu merasuki bahasa hukum, hingga terminologi hukum yang seharusnya menjadi standar proses legal formal, malah ditafsirkan secara kontekstual dan kasuistik sesuai kepentingan yang tersembunyi di baliknya!"
"Contoh konkretnya?" kejar Budi.

"Obral remisi buat koruptor pada 17 Agustus dan Idulfitri ini!" tegas ayah. "Korupsi itu kejahatan luar biasa, hingga seluruh proses hukumnya dilakukan secara luar biasa! Tapi di balik kepentingan tersembunyi yang kasuistik, pemerintah obral remisi (potongan hukuman) pada koruptor dan menyamakan korupsi dengan kejahatan biasa, bahkan menegaskan tak boleh ada diskriminasi karena remisi wajib hukumnya!

Terminologi hukum jadi kacau, kejahatan luar biasa direduksi jadi biasa!"
"Kalau bahasa hukum kacau, yang dijalankan hukum formal, produk efektifnya bisa hukum rimba—survival of the fittest, yang terkuat-berkuasa selalu diuntungkan! Praktek hukum menjadi kontroversial, terutama pada rasa keadilan masyarakat!" timpal Budi.

"Konsekuensinya dalam pemberantasan korupsi, retorika menyebut maju ke depan, realitasnya justru mundur jauh ke belakang!"

0 komentar: