Kata Kunci

Blogumulus by Roy Tanck and Amanda Fazani

Kekerasan dan Kekerasan Lagi!


"BERITA kekerasan silih berganti mengisi media massa nasional!" ujar Umar. "Pekan lalu kekerasan di Sumut dengan antiklimaks serangan balik teroris ke Mapolsek Hamparan Perak, tiga polisi tewas, impas dengan teroris yang tewas! Itu disusul aksi belasan rampok bersenjata api di Padang, empat rampok tewas dalam adu tembak dengan polisi!"

"Pekan ini kekerasan berlanjut ke Tarakan, Kaltim! Antarkelompok warga secara masif bentrok Senin sampai Rabu, lima orang tewas, sejumlah rumah dibakar! Sekitar 30 ribu perempuan dan anak-anak mengungsi ke instalasi TNI, polisi, dan sekolah!" timpal Amir. "Itu disusul kekerasan antarkelompok warga di depan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang menewaskan tiga orang!"


"Itu sampai Rabu! Kamis pagi sebuah bom bunuh diri meledak di Pasar Bekasi! Pelaku tertangkap, tangannya putus oleh bom sendiri!" tegas Umar. "Masalahnya, kenapa kekerasan merebak?"

"Kekerasan itu salah satu bentuk bahasa, ekspresi penyampaian pesan!" jawab Amir.

"Dalam ajaran moral ditegaskan, jika tak bisa diselesaikan dengan mulut (bahasa lisan), selesaikan dengan tangan—tindakan! Bentuk tindakan itu bablas jadi kekerasan sebagai wujud pemaksaan kehendak!"

"Berarti ada masalah dengan komunikasi dalam masyarakat, hingga 'bahasa mulut' dalam aneka bentuk operasionalnya sebagai peranti mekanisme sosial—terutama hukum—menjadi kurang efektif, sehingga 'bahasa tangan' terpaksa digunakan!" tukas Umar. "Kenapa 'bahasa mulut' bisa bias makna, antarkelompok jadi tak saling memahami bahasa di antara mereka hingga salah tafsir berujung konflik kekerasan?"

"Layak dipahami, hukum—sendi utama 'bahasa mulut' yang mengikat makna setiap kata dengan konsekuensi—bukan hanya undang-undang yang tertulis, tapi lebih penting lagi sepak terjang para pejabat yang setiap ucapan dan tindakannya adalah amalan hukum!" jelas Amir. "Celakanya, ucapan pejabat (termasuk politisi) jadi terlalu retoris—isi ucapan beda dengan realitas yang dilihat dan dirasakan rakyat—hingga makna kata dalam bahasa sehari-hari dan bahasa hukum pun hambar, akhirnya sirna! Setiap kata jadi punya makna spesifik pada setiap orang, tak lagi bisa mengikat komitmen bersama! Sesama hamba dan pakar hukum memaknai satu kata berbeda-beda, sesuai kepentingan masing-masing!"

"Kalau begitu yang dibutuhkan bukan pakar komunikasi, tapi pakar miss communication!" timpal Umar. "Dengan itu salah kaprah, makna dalam komunikasi buah retorika bisa diterima sebagai realitas, tak harus diselesaikan lewat kekerasan!" ***

0 komentar: