Kata Kunci

Blogumulus by Roy Tanck and Amanda Fazani

Tanda Kemajuan itu Siapa Punya?

"EKONOMI kita menunjukkan tanda-tanda kemajuan signifikan!" ujar Umar. "Indeks harga saham gabungan (IHSG) di Bursa Efek Jakarta (BEJ) yang saat krisis keuangan global awal 2009 nyaris menyentuh angka 1.000, kini telah melampaui level 3.000! Seiring itu kapitalisasi saham di BEJ meningkat sebanding, sehingga mencatat rekor kelipatan tertinggi di dunia!"

"Dahsyat!" sambut Amir. "Tapi tanda kemajuan itu siapa punya? Siapa yang menikmatinya?"

"Jangan tanya itu, dong!" timpal Umar. "Kan sudah jelas, pemain lokal di BEJ di bawah satu persen! Berarti, yang menikmati gain peningkatan harga saham itu para investor asing! Juga penerima dividen, laba perusahaan go public yang dibagikan setiap tahun!"

"Lantas siapa yang harus membayar gain, peningkatan harga saham itu, kalau awal tahun lalu mereka—para investor asing—beli dengan harga 1.000, kini kalau mereka jual harganya jadi 3.000?" tanya Amir.

"Meski secara tak langsung karena harus lewat pialang, yang harus membayar dengan harga sekarang tentu perusahaan pemilik saham yang sebelumnya telah menerima hasil penjualan sahamnya!" jawab Umar.

"Kemajuan membawa sengsara kalau begitu!" tukas Amir. "Dia terima hasil penjualan sahamnya 1.000, lantas 20 bulan kemudian harus mengembalikan 3.000 atau tambah gain 200 persen, sama dengan setiap bulan membayar bunga 10 persen tambah pembagian laba tahunan atau dividen! Ketahuan siapa untung dan siapa buntung dengan kemajuan itu!"

"Jangan cuma dilihat dari sisi itu, dong!" timpal Umar. "Tapi lihat secara makro arti masuknya modal asing lewat mekanisme bursa saham, yang telah mendukung tercapainya

cadangan devisa lebih 60 miliar dolar AS!"

"Kalau cadangan devisa terkumpul dari situ, betapa mahal gain dan dividen yang harus dipikul bangsa ini setiap tahunnya?" entak Amir. "Sedang cadangan devisa yang diperoleh lewat menjual obligasi—baik obligasi negara maupun swasta dengan pasaran bunga minimum 9 persen per tahun—bisa dihitung biaya per miliar dolar per tahunnya! Bisa habis nilai tambah ekonomi kita untuk menyangga cadangan devisa!"

"Kalau bukan dari putaran modal jangka pendek lewat bursa, dan modal jangka menengah lewat obligasi, dari mana lagi bisa dapat cadangan devisa sebanyak itu?" timpal Umar.

"Dari selisih neraca perdagangan (ekspor dikurangi impor) dan TKI? Jelas jauh dari memadai!"

"Memang, tanpa itu kita tak bisa punya cadangan devisa sebanyak itu!" tegas Amir.

"Tapi konsekuensinya, kita harus mengeluarkan biaya amat besar untuk menyangga cadangan devisa, padahal kita kekurangan dana untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat!"




0 komentar: