"MASUK bursa balon—bakal calon—bupati dalam pilkada yang kurang empat bulan lagi, tubuhmu kok malah tambah gendut?" tanya Umar. "Apa pertimbanganmu untuk tambah gemuk itu?"
"Karena partai besar mencari calon bupati yang berbobot!" jawab Amir. "Dan, itu dilakukan partai secara terbuka sehingga kader dari partai besar menyadari akan kalah bersaing bobot dalam seleksi yang dilakukan partainya! Akibatnya, sejak dini ada kader partai itu mengumpulkan dukungan bagi dirinya untuk pencalonan lewat jalur perseorangan atau independen! Apalagi sering terbukti kader partainya yang jauh lebih berbobot darinya tersingkir dibuat calon dari luar partai! Saking seriusnya partai mencari calon paling berbobot, kader partai sendiri dicampakkan! Buat putusan tragis menyingkirkan kader partai sendiri itu, pasti pimpinan partai telah membuktikan bobot calon dari luar itu paling memuaskan!"
"Itu bukan takut kalah bersaing bobot tubuh!" bantah Umar. "Lebih mungkin bobot intelektual dan kapasitas kemampuannya untuk memimpin pemerintahan daerah! Dengan begitu, partai yang mengusungnya bisa berbangga saat menang pilkada, calon yang dijagokan tidak memalukan!"
"Kalau bobot itu yang dimaksud, pertimbangan pimpinan partai menjagokan orang dari luar kader itu jelas telah mengerdilkan partainya sendiri!" timpal Amir. "Karena itu, dengan mereka menunjukkan kepada publik bahwa partai mereka tidak punya kader berkualitas yang mampu bersaing dan pantas dikedepankan!"
"Kalau bukan bobot kualitas, bisa ditebak yang ditimbang itu bobot modalnya! Terutama modal untuk memenangkan pilkada!" tegas Umar.
"Buat apa partai mendukung orang yang modalnya tak cukup untuk memenangkan pilkada! Lebih tepat lagi, partai mendukung calon dari luar partai yang bukan kadernya itu semata untuk ikut ‘numpang menang’! Dengan ‘numpang menang’ itu banyak benefit bisa diperoleh partai dan pimpinannya! Buat apa mendukung kader sendiri kalau kurang modal dan akhirnya kalah, tak dapat apa-apa!" "Jadi, pragmatisme berorientasi benefit itukah praktek politik partai besar menjurus?" tukas Amir. "Dan, karena benefit pilkada sejak awal didesain semata demi kepentingan partai dan politisi pimpinannya, kepala daerah pemenang pilkada pun tak bisa mengelak untuk mengikuti kehendak partai pendukung kemenangannya itu sembari mengeruk benefit bagi dirinya sendiri! Kalau semua benefit buah otonomi daerah sudah dijadikan bancakan elite begitu, rakyat tinggal jadi penonton yang tak dapat apa-apa!" ***
"Buat apa partai mendukung orang yang modalnya tak cukup untuk memenangkan pilkada! Lebih tepat lagi, partai mendukung calon dari luar partai yang bukan kadernya itu semata untuk ikut ‘numpang menang’! Dengan ‘numpang menang’ itu banyak benefit bisa diperoleh partai dan pimpinannya! Buat apa mendukung kader sendiri kalau kurang modal dan akhirnya kalah, tak dapat apa-apa!" "Jadi, pragmatisme berorientasi benefit itukah praktek politik partai besar menjurus?" tukas Amir. "Dan, karena benefit pilkada sejak awal didesain semata demi kepentingan partai dan politisi pimpinannya, kepala daerah pemenang pilkada pun tak bisa mengelak untuk mengikuti kehendak partai pendukung kemenangannya itu sembari mengeruk benefit bagi dirinya sendiri! Kalau semua benefit buah otonomi daerah sudah dijadikan bancakan elite begitu, rakyat tinggal jadi penonton yang tak dapat apa-apa!" ***
0 komentar:
Posting Komentar