Kata Kunci

Blogumulus by Roy Tanck and Amanda Fazani

Reformasi, Rakyat Tambah Sengsara!

"MENGUKUR arti reformasi buat rakyat mudah. Bandingkan saja kondisi rakyat lapisan bawah—buruh, tani, dan nelayan—sebelum reformasi dan sekarang!" ujar Umar. "Di zaman Orde Baru upah buruh ditetapkan sesuai KHM (kebutuhan hidup minimum), yang pada zaman reformasi lewat polesan peraturan menteri istilah tersebut diganti menjadi KHL (kebutuhan hidup layak). Sekarang upah ditetapkan pada UMK (upah minimum kabupaten-kota) yang nilainya oleh konspirasi penguasa dan pengusaha dijaga di bawah KHL!" "Sedang tani, ukurannya tentu bukan pemilik tanah luas, tapi buruh tani yang upahnya tak pernah masuk kebijakan pengupahan, hingga perbaikan nasibnya harus dilihat lewat proses redistribusi tanah!" timpal Amir. "Di era Orba, redistribusi tanah dilakukan lewat program transmigrasi, mengangkat perbaikan nasib jutaan buruh tani dengan proses menonjol! Di era reformasi, program transmigrasi nyaris tak terdengar! Justru heboh korupsinya terkait proyek infrastrukturnya yang tiba-tiba menonjol!"

"Lalu nelayan, di era Orba tak pernah mengeluh kesulitan solar untuk melaut, harganya stabil!" tegas Umar. "Belakangan ini nelayan sering tak melaut karena kesulitan solar! Kalaupun ada solar eceran, harganya jauh di atas tarif! Lucunya, pemerintah membuat stasiun pengisian BBM untuk nelayan, tapi selalu kurang pasokan!" "Dari semua itu terlihat, kalau di zaman Orde Baru hidup rakyat sengsara, di era reformasi rakyat justru tambah sengsara!" tukas Amir. "Itu terjadi akibat reformasi hasil perjuangan mahasiswa menggulingkan Orde Baru itu di awal perjalanan dibajak oleh partai politik, yang menempatkan di bawah kekuasaan parpol segala dimensi proses civil society (masyarakat madani) canangan reformasi—baru belakangan calon independen boleh ikut pilkada!" "Lebih celaka lagi, para politisi yang serbakuasa menciptakan segala aturan main demokrasi untuk keuntungan diri mereka semata itu, orientasinya terlalu cepat vulgar pada budaya uang!" timpal Umar.

 "Sampai-sampai untuk pemilihan deputi senior Gubernur BI saja, puluhan anggota DPR yang terhormat harus dipenjara karena terima suap!" "Fatalnya, dalam otonomi daerah sebagai ideal reformasi, kekuatan uang (dari sewa perahu sampai beli suara pemilih) jadi penentu seleksi kepala daerah!" tegas Amir. "Kepala daerah terpilih pun jadi lebih penting mencari uang sebanyak mungkin untuk mempertahankan kekuasaan periode berikutnya, atau malah membangun dinasti kekuasaan anak-cucunya! Akibat semua itu, nasib rakyat cuma jadi embel-embel!" ***

0 komentar: