HARGA tandan buah segar (TBS) kelapa sawit petani di Lampung Utara jeblok, hanya Rp350 per kg. Akibatnya, banyak petani tidak memanen buah sawitnya karena dengan harga itu tidak cukup untuk upah buruh panen dan transpor ke pabrik. (Lampost, 30/10)
Jebloknya harga TBS di daerah itu tak terlepas dari harga referensi Kementerian Perdagangan atas produk kelapa sawit atau crude palm oil (CPO) untuk penetapan bea keluar periode Oktober 2015 sebesar 529,51 dolar AS per metrik ton (MT). Angka ini turun telak sebesar 81,14 dolar AS per MT atau 13,29 persen dari periode September 2015 sebesar 610,65 per MT. (Liputan-6.com, 1/10)
Dengan harga Oktober itu, jika kurs rupiah pekan ini Rp13.600 per dolar AS, setiap MT bernilai Rp7.201.346. Kalau situasi normal harga TBS ditetapkan sepersepuluh CPO, berarti harga TBS Rp720 per kg. Tapi karena banyak beban resmi dan tidak resmi yang harus dipikul pabrik dan eksportir, harga di lapangan bisa sampai di tingkat 50 persennya.
Apalagi terakhir ini ada tekanan dari Uni Eropa dan Amerika Serikat untuk standar kualitas CPO dari Indonesia, yang cenderung membuat sawit petani terpaksa ditinggalkan pabrikan eksportir. Yakni, terkait dengan perjanjian The Indonesian Palm Oil Pledge (IPOP), lima raksasa perusahaan sawit Indonesia, Wilmar Indonesia, Cargill Indonesia, Asian Agri, Musim Mas, dan Golden Agri Resources menandatangani kesepakatan dengan Uni Eropa dan AS untuk memproduksi minyak sawit yang berkualitas tinggi dan ramah lingkungan. (Kompas.com, 30/10)
Konsekuensi perjanjian yang ditandatangani September 2014 itu, perusahaan-perusahaan tersebut tak bisa membeli TBS dan CPO yang tak ramah lingkungan. Ini bisa membuat petani dan perusahaan sawit kecil gulung tikar karena produknya tak ada yang membeli. Padahal, lima raksasa sawit itu menampung 80% sampai 85% dari total TBS dan CPO Indonesia, termasuk TBS dari 4,5 juta petani sawit. Pemerintah tentu tak tinggal diam.
Direktur Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian Gamal Nasir menyatakan, "Kami akan mengirim surat resmi ke lima perusahaan itu untuk menunda pelaksanaan IPOP di Indonesia." Kelima perusahaan itu harus berpegang pada aturan yang berlaku di Indonesia, yakni Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO). "Anggota IPOP mau menjalankan kebijakan ini karena tekanan asing," tegas Gamal. (Kontan, 28/10)
Diharapkan Dirjen tak lupa mengirim surat yang dijanjikan karena petani sawit sudah telanjur merana. ***
Selanjutnya.....
Dengan harga Oktober itu, jika kurs rupiah pekan ini Rp13.600 per dolar AS, setiap MT bernilai Rp7.201.346. Kalau situasi normal harga TBS ditetapkan sepersepuluh CPO, berarti harga TBS Rp720 per kg. Tapi karena banyak beban resmi dan tidak resmi yang harus dipikul pabrik dan eksportir, harga di lapangan bisa sampai di tingkat 50 persennya.
Apalagi terakhir ini ada tekanan dari Uni Eropa dan Amerika Serikat untuk standar kualitas CPO dari Indonesia, yang cenderung membuat sawit petani terpaksa ditinggalkan pabrikan eksportir. Yakni, terkait dengan perjanjian The Indonesian Palm Oil Pledge (IPOP), lima raksasa perusahaan sawit Indonesia, Wilmar Indonesia, Cargill Indonesia, Asian Agri, Musim Mas, dan Golden Agri Resources menandatangani kesepakatan dengan Uni Eropa dan AS untuk memproduksi minyak sawit yang berkualitas tinggi dan ramah lingkungan. (Kompas.com, 30/10)
Konsekuensi perjanjian yang ditandatangani September 2014 itu, perusahaan-perusahaan tersebut tak bisa membeli TBS dan CPO yang tak ramah lingkungan. Ini bisa membuat petani dan perusahaan sawit kecil gulung tikar karena produknya tak ada yang membeli. Padahal, lima raksasa sawit itu menampung 80% sampai 85% dari total TBS dan CPO Indonesia, termasuk TBS dari 4,5 juta petani sawit. Pemerintah tentu tak tinggal diam.
Direktur Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian Gamal Nasir menyatakan, "Kami akan mengirim surat resmi ke lima perusahaan itu untuk menunda pelaksanaan IPOP di Indonesia." Kelima perusahaan itu harus berpegang pada aturan yang berlaku di Indonesia, yakni Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO). "Anggota IPOP mau menjalankan kebijakan ini karena tekanan asing," tegas Gamal. (Kontan, 28/10)
Diharapkan Dirjen tak lupa mengirim surat yang dijanjikan karena petani sawit sudah telanjur merana. ***