PADA hari raya Idulfitri 1 Syawal 1438 Hijriah atau Minggu 25 Juni 2017, Presiden Jokowi menerima Ketua Gerakan Nasional Pembela Fatwa Majelis Ulama Indonesia (GNPF MUI) Bachtiar Nasir didampingi Wakil Ketua Zaitun Rasmin dan pengurus lainnya yang datang bersilaturahmi ke Istana Merdeka.
Merupakan tradisi Indonesia, Idulfitri menjadi kesempatan bermaaf-maafan secara tulus lahir batin atas segala kesalahan atau ketersinggungan dalam pergaulan pribadi maupun kelompok.
Kesiapan Presiden Jokowi menerima GNPF MUI di hari fitri itu pun menjadi kesempatan kedua pihak saling memaafkan kalaupun ada hal-hal yang kurang berkenan selama ini. Dengan itu, segala kesalahan saling dimaafkan dan kalaupun ada masalah dianggap selesai. Begitulah prinsip silaturahmi saat Idulfitri.
Karena itu, aneh kalau kemudian disebutkan silaturahmi di hari mulia itu baru langkah awal dari gagasan rekonsiliasi. Penggunaan istilah rekonsiliasi itu mungkin terlalu jauh, karena itu menyangkut upaya rujukan dua pihak yang bermusuhan atau berperang, seperti dipakai pada rujukan antara rezim kulit putih penindas dan warga kulit hitam tertindas di Afrika Selatan era Mandela sehingga memakai istilah rekonsiliasi terkesan seolah ada yang ingin jadi "Mandela".
Untuk itu, tentu harus dilihat duduk soalnya dan hubungan GNPF MUI dan pemerintah. GNPF MUI hadir untuk berjuang agar aparat penegak hukum menegakkan keadilan atas kasus penistaan agama oleh Ahok. Jadi legal standing GNPF MUI menghadap ke kekuasaan yudikatif atau justice system.
Untuk itu, perjuangan GNPF MUI mencapai sukses besar. Setelah pressure jutaan massa pada Aksi 212 berhasil membuat Ahok ditetapkan sebagai tersangka, tekanan lanjutannya berhasil membuat Ahok dipenjara dalam waktu cukup lama. Bahkan, hukuman bagi Ahok itu sudah bersifat tetap karena baik Ahok maupun jaksa telah mencabut upaya bandingnya.
Tapi dengan itu logikanya, misi kehadiran GNPF MUI telah berhasil dicapai dan diwujudkan sehingga bisa disebut tugasnya telah selesai (mission accomplished).
Dalam semua proses itu tak ada terlihat permusuhan atau peperangan GNPF MUI dengan pemerintah. Kalau dalam demonya ada mengkritik pemerintah, organisasi atau kelompok lain juga melakukan itu. Lagi pula pemerintah harus siap dikritik, tidak menganggap pengkritik sebagai musuhnya.
Lantas rekonsiliasi buat apa? Lain hal kalau ada hajat politik terselubung, menepis ancaman rekonsiliasi atau revolusi dari pihak tertentu. ***
Selanjutnya.....
Kesiapan Presiden Jokowi menerima GNPF MUI di hari fitri itu pun menjadi kesempatan kedua pihak saling memaafkan kalaupun ada hal-hal yang kurang berkenan selama ini. Dengan itu, segala kesalahan saling dimaafkan dan kalaupun ada masalah dianggap selesai. Begitulah prinsip silaturahmi saat Idulfitri.
Karena itu, aneh kalau kemudian disebutkan silaturahmi di hari mulia itu baru langkah awal dari gagasan rekonsiliasi. Penggunaan istilah rekonsiliasi itu mungkin terlalu jauh, karena itu menyangkut upaya rujukan dua pihak yang bermusuhan atau berperang, seperti dipakai pada rujukan antara rezim kulit putih penindas dan warga kulit hitam tertindas di Afrika Selatan era Mandela sehingga memakai istilah rekonsiliasi terkesan seolah ada yang ingin jadi "Mandela".
Untuk itu, tentu harus dilihat duduk soalnya dan hubungan GNPF MUI dan pemerintah. GNPF MUI hadir untuk berjuang agar aparat penegak hukum menegakkan keadilan atas kasus penistaan agama oleh Ahok. Jadi legal standing GNPF MUI menghadap ke kekuasaan yudikatif atau justice system.
Untuk itu, perjuangan GNPF MUI mencapai sukses besar. Setelah pressure jutaan massa pada Aksi 212 berhasil membuat Ahok ditetapkan sebagai tersangka, tekanan lanjutannya berhasil membuat Ahok dipenjara dalam waktu cukup lama. Bahkan, hukuman bagi Ahok itu sudah bersifat tetap karena baik Ahok maupun jaksa telah mencabut upaya bandingnya.
Tapi dengan itu logikanya, misi kehadiran GNPF MUI telah berhasil dicapai dan diwujudkan sehingga bisa disebut tugasnya telah selesai (mission accomplished).
Dalam semua proses itu tak ada terlihat permusuhan atau peperangan GNPF MUI dengan pemerintah. Kalau dalam demonya ada mengkritik pemerintah, organisasi atau kelompok lain juga melakukan itu. Lagi pula pemerintah harus siap dikritik, tidak menganggap pengkritik sebagai musuhnya.
Lantas rekonsiliasi buat apa? Lain hal kalau ada hajat politik terselubung, menepis ancaman rekonsiliasi atau revolusi dari pihak tertentu. ***