PRESIDEN Donald Trump mengumumkan Amerika Serikat (AS) mundur dari kesepakatan iklim Paris 2015, upaya mengendalikan peningkatan suhu global jauh di bawah 2 derajat Celsius. Dari Gedung Putih, Kamis (1/6/2017), Trump menegaskan AS akan berhenti menerapkan kesepakatan yang ditandatangani 195 negara itu, yang disebutnya sebagai kesepakatan buruk. "Saya tidak bisa, sesuai hati nurani, mendukung kesepakatan yang menghukum Amerika Serikat," ujar Trump dikutip AFP (detiknews, 4/6/2017).
AS menyumbang sekitar 15% emisi karbon global yang memengaruhi peningkatan suhu permukaan Bumi sehingga gletser (gunung es) di kutub Bumi mulai mencair. Sebagai penyumbang terbesar emisi karbon perusak iklim Bumi itu, dalam kesepakatan yang dipelopori penandatanganannya oleh Obama dan Xi Jinping itu, AS menjadi sumber penting keuangan dan teknologi untuk negara-negara berkembang dalam upaya mengatasi peningkatan suhu.
Trump menyebut kesepakatan itu membebani AS secara finansial dan ekonomi. Trump berulang-ulang menyebut kesepakatan yang ditandatangani itu tidak menempatkan Amerika sebagai yang terutama (America the first) dan terlalu lunak terhadap rival ekonomi AS, seperti Tiongkok, India, dan juga Eropa.
Bergabung dengan Suriah dan Nikaragua yang tidak menandatangani kesepakatan iklim Paris, kepemimpinan moral AS dalam mengurangi emisi karbon yang mengancam masa depan manusia itu dipertanyakan. Sikap mengingkari tanggung jawab universal ini akan memiliki konsekuensi pada upaya-upaya diplomasi AS.
Michael Bruen, pegiat lingkungan AS dari Sierra Club, menyatakan penarikan mundur itu sebagai kesalahan sejarah yang akan membuat keturunan mendatang akan melihat ke belakang dengan penuh keheranan pada pemimpin yang berjarak dari kenyataan dan moralitas (detiknews, 3/6/2017).
Atas mundurnya AS, Tiongkok menegaskan kembali komitmennya pada kesepakatan iklim Paris 2015 dan akan mengeluarkan pernyataan dengan Uni Eropa untuk tekad kerja sama yang lebih besar dalam mengurangi emisi karbon. Kanada dan Meksiko juga mengisyaratkan akan menjadi pemain penting dalam perang melawan peningkatan suhu.
Di AS sendiri, para pemimpin perusahaan besar, Google, Apple, dan ratusan perusahaan lain, termasuk ExxonMobil, mendesak Trump untuk tetap ikut kesepakatan iklim itu. Bos ExxonMobil, Daren Woods, menulis surat pribadi ke Trump. Masalahnya, apakah Trump mengerti ancaman yang dihadapi umat manusia dengan suhu Bumi yang terus naik akibat karbon? ***
Trump menyebut kesepakatan itu membebani AS secara finansial dan ekonomi. Trump berulang-ulang menyebut kesepakatan yang ditandatangani itu tidak menempatkan Amerika sebagai yang terutama (America the first) dan terlalu lunak terhadap rival ekonomi AS, seperti Tiongkok, India, dan juga Eropa.
Bergabung dengan Suriah dan Nikaragua yang tidak menandatangani kesepakatan iklim Paris, kepemimpinan moral AS dalam mengurangi emisi karbon yang mengancam masa depan manusia itu dipertanyakan. Sikap mengingkari tanggung jawab universal ini akan memiliki konsekuensi pada upaya-upaya diplomasi AS.
Michael Bruen, pegiat lingkungan AS dari Sierra Club, menyatakan penarikan mundur itu sebagai kesalahan sejarah yang akan membuat keturunan mendatang akan melihat ke belakang dengan penuh keheranan pada pemimpin yang berjarak dari kenyataan dan moralitas (detiknews, 3/6/2017).
Atas mundurnya AS, Tiongkok menegaskan kembali komitmennya pada kesepakatan iklim Paris 2015 dan akan mengeluarkan pernyataan dengan Uni Eropa untuk tekad kerja sama yang lebih besar dalam mengurangi emisi karbon. Kanada dan Meksiko juga mengisyaratkan akan menjadi pemain penting dalam perang melawan peningkatan suhu.
Di AS sendiri, para pemimpin perusahaan besar, Google, Apple, dan ratusan perusahaan lain, termasuk ExxonMobil, mendesak Trump untuk tetap ikut kesepakatan iklim itu. Bos ExxonMobil, Daren Woods, menulis surat pribadi ke Trump. Masalahnya, apakah Trump mengerti ancaman yang dihadapi umat manusia dengan suhu Bumi yang terus naik akibat karbon? ***
0 komentar:
Posting Komentar