Kata Kunci

Blogumulus by Roy Tanck and Amanda Fazani

Jihad Akbar, Melawan Diri Sendiri!

SELAMA Ramadan setan dirantai. Manusia pun sepanjang Ramadan itu praktis hanya bertarung melawan hawa nafsu yang tak lain adalah nalurinya sendiri. Namun, Sang Khalik memastikan perang melawan diri sendiri itu justru paling berat sehingga dia sebut sebagai jihadul akbar alias jihad besar.
Perang melawan naluri yang ada dalam diri manusia menjadi jihadul akbar karena naluri terkait dengan kebutuhan dasar manusia yang dilarang pemenuhannya sepanjang hari, atas hal-hal yang pada hari lain adalah halal, tapi sepanjang Ramadan sejak fajar menyingsing hingga matahari terbenam diharamkan, yakni kebutuhan dasar dari makan minum hingga syahwat.
Naluri yang dibatasi itu umumnya bersifat konsumtif. Sebaliknya naluri produktif, selama Ramadan didorong penguatannya, seperti naluri mengabdi (beribadah) mendekatkan diri ke Sang Maha Pencipta, naluri ingin tahu dengan belajar untuk meraih pengetahuan, naluri mengembangkan kasih sayang kepada sesama, terutama kepada mereka yang lemah dan kurang beruntung.
Dengan demikian, wujud kemenangan manusia setelah perang besar melawan nalurinya sendiri sepanjang Ramadan itu adalah lebih menonjolnya ekspresi naluri produktif tadi, hingga mengaktualnya budi pekerti yang luhur, akhlaqul-karimah. Ini dicirikan dengan terlihatnya perilaku tawakal. Sebuah perilaku seseorang yang mengekspresikan ketakwaan, sebagaimana hasil yang diharapkan dari ibadah puasa Ramadan.
Ekspresi tersebut dironai kemampuan mengendalikan diri pada jalan yang dibolehkan dan menjauhi larangan-Nya. Memantulkan ekspresi tidak sombong atau arogan, tidak ujub, tidak takabur, dengan sikap penyabar. Bahkan naluri konsumtif juga dipenuhi dengan mengacu kaidah etika dan moral sehingga menyublimasikannya jadi nafsu mutmainah.
Orang yang berhasil mengaktualkan dirinya hingga berbudi pekerti luhur atau akhlaqul karimah itu, kehadirannya memantulkan sikap kanaah, gaya seadanya, dan kesederhanaan menjadi penyempurnanya, sinar wajah berserinya menebar keteduhan, meredam amarah, menenteramkan hati majelis yang berkembang dalam rasa damai.
Lebih lagi ketika dengan semangat pengayom yang ia hadirkan itu, ia dengan segala kerendahan hati justru meminta maaf atas kekurangan dan kelemahan dirinya. Itu membuat orang-orang di depannya merasa diangkat posisi humanitasnya, dibuat merasa di-wong-ke, dimanusiakan dalam kesetaraan.
Dengan semangat egaliter itu pula kita ucapkan selamat Idulfitri. Mohon maaf lahir-batin. ***

0 komentar: