HEBOH bahwa pendidikan agama di sekolah akan dihapus, seketika meluas seusai Rapat Kerja Komisi X DPR RI dengan Mendikbud Muhadjir Effendy, awal pekan ini. Indopos.co.id (13/6/2017), melaporkan Mendikbud beralasan nilai agama di rapor siswa akan diambil dari pendidikan di madrasah diniah, masjid, pura, atau gereja.
"Sekolah lima hari itu tidak sepenuhnya berada di sekolah. Guru dan siswa hanya berada di dalam kelas beberapa jam. Selebihnya di luar kelas atau sekolah," kata Muhadjir dalam rapat kerja di DPR itu.
Untuk pendidikan agama, kata Mendikbud, masing-masing sekolah bisa mengajak siswa belajar di masjid, pura, atau gereja. Atau bisa juga guru-guru di TPA atau madrasah diniah datang ke sekolah memberikan pelajaran agama. "Kalau sudah dapat pelajaran agama di luar kelas, otomatis siswa tidak perlu lagi dapat pendidikan agama di dalam kelas. Nanti, kami atur teknisnya agar pendidikan agama yang didapat di luar kelas atau sekolah itu disinkronkan dengan kurikulum," beber Muhadjir dikutip Indopos.
Dengan sinkronisasi itu, kata dia, pelajaran agama yang diberikan pengajar luar bisa sesuai. Pengajar ini juga berhak memberikan nilai agama kepada para siswa.
Sehari setelah berita itu menyulut pro-kontra luas, Kepala Biro Komunikasi Kemendikbud Ari Santoso merilis siaran pers, membantah bahwa pendidikan agama dihapuskan, tapi justru diperkuat melalui ekstrakurikuler.
"Upaya untuk meniadakan pendidikan agama itu tidak ada dalam agenda reformasi sekolah sesuai arahan mendikbud," tulis Ari dalam rilis. (Antara, 14/6/2017) Justru pendidikan agama yang selama ini dirasa kurang dalam jam pelajaran, akan semakin diperkuat melalui kegiatan ekstrakurikuler.
Sesuai dengan Permendikbud Nomor 23/2017, jelas Ari, sekolah dapat bekerja sama dengan lembaga pendidikan karakter yang sesuai dengan nilai karakter utama religiositas atau keagamaan.
Menurut Ari, Mendikbud memberi contoh penerapan penguatan pendidikan karakter yang dilakukan Kabupaten Siak, yang memberlakukan pola sekolah sampai pukul 12.00, dilanjutkan dengan belajar agama bersama para ustaz. Siswa diberi makan siang yang dananya diambil dari APBD.
Permendikbud itu mendorong penguatan karakter religius melalui kegiatan ekstrakurikuler, termasuk kegiatan di madrasah diniah, pesantren kilat, ceramah keagamaan, retreat, katekisasi, baca-tulis Alquran, dan kitab suci lainnya.
Jadi, yang benar bukan pendidikan agama dihapus, melainkan ditambah variasinya. ***
Untuk pendidikan agama, kata Mendikbud, masing-masing sekolah bisa mengajak siswa belajar di masjid, pura, atau gereja. Atau bisa juga guru-guru di TPA atau madrasah diniah datang ke sekolah memberikan pelajaran agama. "Kalau sudah dapat pelajaran agama di luar kelas, otomatis siswa tidak perlu lagi dapat pendidikan agama di dalam kelas. Nanti, kami atur teknisnya agar pendidikan agama yang didapat di luar kelas atau sekolah itu disinkronkan dengan kurikulum," beber Muhadjir dikutip Indopos.
Dengan sinkronisasi itu, kata dia, pelajaran agama yang diberikan pengajar luar bisa sesuai. Pengajar ini juga berhak memberikan nilai agama kepada para siswa.
Sehari setelah berita itu menyulut pro-kontra luas, Kepala Biro Komunikasi Kemendikbud Ari Santoso merilis siaran pers, membantah bahwa pendidikan agama dihapuskan, tapi justru diperkuat melalui ekstrakurikuler.
"Upaya untuk meniadakan pendidikan agama itu tidak ada dalam agenda reformasi sekolah sesuai arahan mendikbud," tulis Ari dalam rilis. (Antara, 14/6/2017) Justru pendidikan agama yang selama ini dirasa kurang dalam jam pelajaran, akan semakin diperkuat melalui kegiatan ekstrakurikuler.
Sesuai dengan Permendikbud Nomor 23/2017, jelas Ari, sekolah dapat bekerja sama dengan lembaga pendidikan karakter yang sesuai dengan nilai karakter utama religiositas atau keagamaan.
Menurut Ari, Mendikbud memberi contoh penerapan penguatan pendidikan karakter yang dilakukan Kabupaten Siak, yang memberlakukan pola sekolah sampai pukul 12.00, dilanjutkan dengan belajar agama bersama para ustaz. Siswa diberi makan siang yang dananya diambil dari APBD.
Permendikbud itu mendorong penguatan karakter religius melalui kegiatan ekstrakurikuler, termasuk kegiatan di madrasah diniah, pesantren kilat, ceramah keagamaan, retreat, katekisasi, baca-tulis Alquran, dan kitab suci lainnya.
Jadi, yang benar bukan pendidikan agama dihapus, melainkan ditambah variasinya. ***
0 komentar:
Posting Komentar