KITA berada pada hari menjelang akhir Ramadan yang kondusif. Segala puji dan syukur ke hadirat Illahi Rabbi yang menganugerahkan Ramadan tanpa kejadian luar biasa atau peristiwa signifikan berskala nasional kepada bangsa ini.
Bukan berarti tak ada peristiwa mengejutkan, seperti pimpinan DPRD kabupaten/kota di Jawa Timur kena OTT KPK. Juga pasangan suami-istri gubernur Bengkulu. Tetapi pejabat yang tetap melakukan korupsi dan terus pula ditangkapi oleh KPK itu sudah menjadi berita rutin di negeri ini.
Juga DPR yang cenderung tak henti berusaha untuk memperlemah KPK, dengan segala cara. Terakhir dengan pembentukan pansus KPK, malah mau membekukan anggaran KPK dan Polri. Namun, itu juga telah menjadi hal rutin bagi lembaga wakil rakyat yang tak bosan overdosis mengacungkan kekuasaannya.
Atau juga kalau ada mobil menabrak kereta api di palang persilangan jalan kedua jenis angkutan ini, telah menjadi hal rutin. Tanpa kecuali juga harga daging sapi setiap kali melonjak di atas Rp100 ribu/kg, diikuti gejolak harga bawang mengusik angka inflasi, juga merupakan hal rutin.
Singkat kata, semua hal tidak normal atau di luar kenormalan itu telah menjadi hal yang rutin. Dianggap sebagai hal yang biasa-biasa saja, lumrah-lumrah saja. Artinya, segala hal yang abnormal itu sudah dianggap dan diperlakukan sebagai hal yang normal.
Adakah gejala itu bisa dijadikan sebagai pertanda sebuah bangsa yang sehat? Untuk melihatnya dengan jernih, bisa dilakukan lewat membuat refleksi dengan mempersonifikasi perilaku umum itu pada perilaku pribadi yang dilakukan di muka umum.
Misalnya, orang-orang berdasi atau bersafari mencopet bahkan merampok uang rakyat di pasar atau terminal. Begitulah hakikatnya korupsi. Apakah orang-orang seperti itu, apalagi itu wakil rakyat di legislatif, bisa disebut sehat atau waras?
Atau orang berdasi dan bersafari menjegal polisi lalu lintas yang sedang bertugas di persimpangan. Begitu hakikat tindakan menahan anggaran Polri. Apakah orang yang melakukan itu bisa disebut sehat atau waras?
Atau orang berdasi dan bersafari itu merampok para pembeli daging dan bawang, sebagai hakikat importir spekulan. Bisakah mereka disebut sehat atau waras?
Secara eksplisit, justru orang-orang berdasi dan bersafari yang melakukan itu oleh masyarakat bisa disebut kurang waras. Dan karena mereka wakil rakyat, representasi rakyat bangsa ini, tak terelakkan hal itu malah menjadi fenomena bangsa yang kurang waras! Sedih. ***
Juga DPR yang cenderung tak henti berusaha untuk memperlemah KPK, dengan segala cara. Terakhir dengan pembentukan pansus KPK, malah mau membekukan anggaran KPK dan Polri. Namun, itu juga telah menjadi hal rutin bagi lembaga wakil rakyat yang tak bosan overdosis mengacungkan kekuasaannya.
Atau juga kalau ada mobil menabrak kereta api di palang persilangan jalan kedua jenis angkutan ini, telah menjadi hal rutin. Tanpa kecuali juga harga daging sapi setiap kali melonjak di atas Rp100 ribu/kg, diikuti gejolak harga bawang mengusik angka inflasi, juga merupakan hal rutin.
Singkat kata, semua hal tidak normal atau di luar kenormalan itu telah menjadi hal yang rutin. Dianggap sebagai hal yang biasa-biasa saja, lumrah-lumrah saja. Artinya, segala hal yang abnormal itu sudah dianggap dan diperlakukan sebagai hal yang normal.
Adakah gejala itu bisa dijadikan sebagai pertanda sebuah bangsa yang sehat? Untuk melihatnya dengan jernih, bisa dilakukan lewat membuat refleksi dengan mempersonifikasi perilaku umum itu pada perilaku pribadi yang dilakukan di muka umum.
Misalnya, orang-orang berdasi atau bersafari mencopet bahkan merampok uang rakyat di pasar atau terminal. Begitulah hakikatnya korupsi. Apakah orang-orang seperti itu, apalagi itu wakil rakyat di legislatif, bisa disebut sehat atau waras?
Atau orang berdasi dan bersafari menjegal polisi lalu lintas yang sedang bertugas di persimpangan. Begitu hakikat tindakan menahan anggaran Polri. Apakah orang yang melakukan itu bisa disebut sehat atau waras?
Atau orang berdasi dan bersafari itu merampok para pembeli daging dan bawang, sebagai hakikat importir spekulan. Bisakah mereka disebut sehat atau waras?
Secara eksplisit, justru orang-orang berdasi dan bersafari yang melakukan itu oleh masyarakat bisa disebut kurang waras. Dan karena mereka wakil rakyat, representasi rakyat bangsa ini, tak terelakkan hal itu malah menjadi fenomena bangsa yang kurang waras! Sedih. ***
0 komentar:
Posting Komentar