MAJELIS Ulama Indonesia (MUI) dan Nahdlatul Ulama (NU) bersama jajarannya menolak sekolah lima hari (Senin sampai Jumat) atau full day school yang dicanangkan Mendikbud Muhadjir Effendy akan berlaku mulai tahun pelajaran baru 2017/2018.
Muhadjir mengatakan nantinya waktu belajar mengajar di sekolah berlangsung dari Senin hingga Jumat. "Alasannya nanti sudah diperpanjang waktu belajarnya. Minimum delapan jam itu. Jadi, kalau lima hari masuk, sudah 40 jam per minggu. Dan itu sudah sesuai dengan standar kerja ASN untuk guru. Jadi, kalau itu sudah melampaui standar kerja ASN sehingga guru mengkuti standar tersebut," kata Muhadjir. (detiknews, 8/6/2017)
Atas rencana Mendikbud itu, Pengurus Besar (PB) NU secara tegas menolak karena jam sekolah dari pagi hingga sore tidak sesuai dengan kultur muslim Indonesia. "Hal mendasar yang terjadi saat full day school diterapkan adalah matinya madrasah-madrasah diniah, belajar agama sore hari, interaksi santri-kiai di sore hari," kata Ketua PBNU Muhammad Sulton Fatoni, dalam keterangan tertulis. (detiknews, 11/6/2017)
"Padahal di waktu dan proses sore hari itulah anak-anak muslim usia sekolah mendapatkan bimbingan etika dan moralitas yang matang, bukan di sekolah yang sarat target angka-angka. Inikah yang pemerintah inginkan?" tukas Sulton.
Sudah menjadi kelaziman anak-anak sepulang sekolah siang, setelah istirahat sorenya masuk madrasah diniah (madin) atau banyak berupa taman pendidikan Alquran (TPA) belajar agama, sampai petang. Kalau sekolah dilakukan sampai sore, tradisi belajar di madin dan TPA itu tidak kebagian waktu lagi.
Selain itu, sekarang banyak santri yang meski mondok di pesantren, pergi ke sekolah umum sewaktu pagi demi pendidikan selanjutnya sesuai dengan cita-citanya, dan belajar di pesantren sorenya. Kalau full day school berlaku, pendidikan kesantriannya terganggu.
MUI meminta Mendikbud mengkaji kembali rencana kebijakan sekolah lima hari. Wakil Ketua Umum MUI Zainut Tauhid Sa'adi, dalam keterangan tertulisnya, mengaitkan kebijakan Mendikbud ini dengan pendidikan madin dan pesantren yang biasanya baru dimulai sepulang sekolah reguler.
Zainut khawatir pendidikan agama tersebut akan gulung tikar. Padahal, telah berkontribusi besar bagi penguatan nilai-nilai agama hingga pembentukan karakter siswa. Sekolah reguler lima hari lazim di Barat karena anak-anak belajar agama tidak setiap hari seperti di sini, tetapi cukup sekolah minggu. ***
Atas rencana Mendikbud itu, Pengurus Besar (PB) NU secara tegas menolak karena jam sekolah dari pagi hingga sore tidak sesuai dengan kultur muslim Indonesia. "Hal mendasar yang terjadi saat full day school diterapkan adalah matinya madrasah-madrasah diniah, belajar agama sore hari, interaksi santri-kiai di sore hari," kata Ketua PBNU Muhammad Sulton Fatoni, dalam keterangan tertulis. (detiknews, 11/6/2017)
"Padahal di waktu dan proses sore hari itulah anak-anak muslim usia sekolah mendapatkan bimbingan etika dan moralitas yang matang, bukan di sekolah yang sarat target angka-angka. Inikah yang pemerintah inginkan?" tukas Sulton.
Sudah menjadi kelaziman anak-anak sepulang sekolah siang, setelah istirahat sorenya masuk madrasah diniah (madin) atau banyak berupa taman pendidikan Alquran (TPA) belajar agama, sampai petang. Kalau sekolah dilakukan sampai sore, tradisi belajar di madin dan TPA itu tidak kebagian waktu lagi.
Selain itu, sekarang banyak santri yang meski mondok di pesantren, pergi ke sekolah umum sewaktu pagi demi pendidikan selanjutnya sesuai dengan cita-citanya, dan belajar di pesantren sorenya. Kalau full day school berlaku, pendidikan kesantriannya terganggu.
MUI meminta Mendikbud mengkaji kembali rencana kebijakan sekolah lima hari. Wakil Ketua Umum MUI Zainut Tauhid Sa'adi, dalam keterangan tertulisnya, mengaitkan kebijakan Mendikbud ini dengan pendidikan madin dan pesantren yang biasanya baru dimulai sepulang sekolah reguler.
Zainut khawatir pendidikan agama tersebut akan gulung tikar. Padahal, telah berkontribusi besar bagi penguatan nilai-nilai agama hingga pembentukan karakter siswa. Sekolah reguler lima hari lazim di Barat karena anak-anak belajar agama tidak setiap hari seperti di sini, tetapi cukup sekolah minggu. ***
0 komentar:
Posting Komentar