Artikel Halaman 8, Lampung Post Jumat 10-07-2020
Tentang 'Falsifikasi' dalam Hukum Pers!
H. Bambang Eka Wijaya
DALAM UU tentang Pers Nomor 40/1999 wartawan diakui apa adanya sebagai manusia, makhluk yang tak luput dari salah atau keliru. Karena itu UU memberi jalan keluar jika hal yang manusiawi itu terjadi dengan mengatur perbaikan melalui hak jawab dan hak koreksi.
Prinsip karya jurnalistik sebagai karya manusia yang berkemungkinan salah disebut falsifikasi. Prinsip itu menyiapkan mekanisme perbaikan atas kesalahan yang manusiawi itu, sehingga wartawan tak harus masuk tahanan apalagi penjara karena dirinya tidak sempurna.
Falsifikasi juga berlaku dalam hukum administrasi. Itu terlihat pada surat-surat keputusan penting, di bagian akhir selalu tertulis: Demikian surat keputusan ini dihuat, jika kemudian hari terjadi kekeliruan ditinjau kembali.
Lebih tegas lagi falsifikasi dalam bidang sains--ilmu pengetahuan (alam). Suatu karya bisa dinilai sebagai sains jika memiliki kemungkinan dibuktikan salah atau keliru. Kalau dinyatakan tak bisa dibuktikan salah atau keliru, itu bukan sains tapi dogma atau ideologi.
Ada contoh menarik pertemuan antara jurnalistik dan Sains. Mehdi Hasan dari Al Jazeera head to head dengan Richard Dawkins, penulis buku The God Delusion. Dawkins seorang ilmuwan ateis garis keras, menyatakan tak percaya Tuhan itu ada karena tak bisa dibuktikan secara empiris.
Mehdi yang muslim berpengepetahuan luas lantas menanya Dawkins, "Apakah kalau secara empiris keberadaan Tuhan bisa dibuktikan, Anda bisa menerima hasil pembuktian itu?"
Jawaban Dawkins mengjutkan, "Ya!" Ia mengaku akan menerima keberadaan Tuhan jika bisa dialaminya secara empiris.
Jadi, dengan prinsip falsifikasi, meskipun sains didapat lewat observasi, penelitian, pengujian berlapis-lapis, tetap sebagai karya manusia ysng tak sempurna.
Karena itu, aneh sekali UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), memperlakukan manusia seperti malaikat, tak bisa salah sekali pun. Seseorang menulis satu kata di akun medsosnya, jika dinilai sebagai ujaran kebencian langsung ditahan, kemudian dihukum penjara, seperti Ahmad Dani.
Pembuat UU tersebut menjadikan manusia bukan sebagai manusia yang bisa salah, sehingga tak membuat mekanisme falsifikasi. Karena itu, perlu dilakukan amendemen terhadap UU ITE, untuk memanusiakan manusia dalam UU tersebut.
Amendemen itu untuk menambah pasal falsifikasi terkait informasi. Informasi, sarana komunikasi dalam kehidupan sehari-hari yang bersifat kodrati. Tak layak diacungi ancaman hukuman yang berat. ***
3 komentar:
Ada oeoatah arab berbunyi Al Insanu nakaanu khotho'wa nisyaan. (manysia itu tempatnya salah dan lupa).Tuhanpun selalu pintu maaf kecuali dosa syirk.Setuju uu ite nenyalahi kodrat asali manusia.
Cocok ini Bang
Betul
Posting Komentar