Artikel Halaman 12, Lampung Post Senin 07-06-2021
PMI Manufaktur RI Mei Tertinggi Asia!
H. Bambang Eka Wijaya
PENANDA kebangkitan industri Indonesia hadir. Purchasing Managers Index (PMI) manufaktur Indonesia Mei 2021 mencapai level 55,3, tertinggi di Asia. PMI RRT priode sama 52, lalu India 50,2; Jepang 53,2; Malaysia 51,3; Singapura 51,8; dan Thailand 47,8.
Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita di Komisi VI DPR pekan lalu mengungkapkan, rekor PMI Indonesia tercatat dua bulan berturut-turut, April 2021 di level 54,6.
PMI adalah sebuah indikator perekonomian suatu negara hasil survei lembaga independen IHS Markit. Sutvei dilakukan terhadap purchasing managers berbagai sektor, utamanya lewat pencataran permintaan pasar atas produk industri suatu negara, dibanding dengan output produksi dalam memenuhi permintaan dan pengadasn bahan bakunya.
Dengan rekor PMI April dan Mei 2021, bisa menjadi titik tolak kebangkitan manufaktur Indonesia, setelah terpuruk pada level terendah sepanjang sejarah 27,5 pada April 2020.
Kebangkitan manufaktur seusai pandemi Covid-19 di April-Mei 2021 sekaligus sebagai kebangkitannya dari gejala deindustrialisasi prematur selama dua dekade terakhir. Bahkan pada kuartal I-2021 masih terkontraksi tumbuh minus 0,71% (yoy); namun sumbangannya ke PDB sebesar 17,91% lebih besar dari priode yang sama tahun lalu 17,86% (yoy) sebagai bagian akhir deindustrialisasi pra-pandemi.
Tingginya permintaan produk manufaktur global dan domestik pasca-pandemi menjadi momentum kebangkitan manufaktur dari gejala deindustrialisasi berlarut-larut. Kontribusi industri manufaktur terhadap PDB pada 2008 sebesar 24,7% dalam satu dekade turun menjadi 19,9% pada 2018.
Itulah yang disebut para pakar ekonomi sebagai deindustrialisasi prematur (Kontan, 17/1/2020) yang berujung pada kuartal I-2020 karena ditutup oleh pandemi dengan sumbangan terakhir ke PDB 17,86% (yoy).
Momentum kebangkitan manufaktur itu harus dipelihara dengan hati-hati, karena salah satu faktor pemicunya ledakan permintaan global pasca-pabdemi. Semua itu dikatrol oleh PMI Manufaktur Global di level 56.
Permintaan yang tinggi menuntut output produksi yang depat menenuhinya, output yang cepat menuntut pengadaan bahan baku yang on time.
Pada mata rantai produktivitas itu Indonesia kedodoran. Akibatnya, indikator biaya input meningkat. Ini harus diatasi cepat, kalau tidak bisa membahayakan laju output dan sekaligus meningkatkan harga produk, akhirnya bisa kalah bersaing di pasar global. Ujungnya bisa kembali ke era deindustrialisasi. ***
0 komentar:
Posting Komentar