Kata Kunci

Blogumulus by Roy Tanck and Amanda Fazani

Janji Temon seperti Janji Politisi!

TEMON yang tak bisa nyanyi, setiap ada organ tunggal selalu bersembunyi untuk menghindari permintaan agar dia menyanyi. Tapi pada suatu malam, saat ada organ tunggal, di depan teman-temannya dia berkata lantang, “Kalau malam ini aku tak diminta menyanyi, aku tidak pulang!”

“Tumben!” entak Temin terkejut. Dia dan teman-teman pun serentak mencari kertas dan pena untuk membuat request agar Temon menyanyi.

Tak lama Temon dipanggil pembawa acara untuk menyanyi. Dengan senyum Temon menghidupkan sepeda motornya dan bersiap pulang! Temin mengejarnya, “Kau tadi janji alau malam ini tak diminta menyanyi kau tidak mau pulang!”
“Betul!” jawab Temon. “Karena sudah diminta untuk menyanyi, berarti aku sudah bisa pulang! Aku tidak melanggar janji, kan?”
“Janjimu seperti janji politisi!” tukas Temin. “Secara logika tidak melanggar janji, tapi dalam praktek terjadi sebaliknya! Janjimu menyanyi, tapi dengan rasionalisasi jadi tetap logis meski tidak menyanyi!”

“Memangnya kita rakyat ini mau belajar dari siapa kalau tidak dari politisi?” timpal Temon. “Misalnya janji meningkatkan kesejahteraan rakyat dengan parameter turunnya angka kemiskinan yang diukur dengan satuan konsumsi! Secara logika memang angka-angka parameter kemiskinan menurun, tapi penderitaan rakyat yang efektif dirasakan justru bertambah berat! Kenapa bisa begitu? Karena angka satuan konsumsi naiknya dalam dua tahun dari sekitar Rp169 ribu jadi Rp182 ribu atau tak sampai 10 persen! Padahal, harga beras pada periode sama naik dari Rp3.000 menjadi Rp5.500 alias lebih 70 persen! Konon lagi beras dan bahan pangan lain mengakomodasi lebih 60 persen konsumsi warga miskin!”
“Asumsinya beras itu produksi mayoritas rakyat petani, sehingga kenaikan harga beras dianggap menaikkan pendapatan petani!” tegas Temin. “Asumsi itu 100 persen betul dan logis buat petani kaya berlahan luas!” timpal Temon.

“Tapi bagi sebagian besar petani berlahan sempit yang di musim tanam sudah membeli beras, apalagi buruh tani yang membeli beras dari musim ke musim, peningkatan harga kebutuhan pokok menjadi peningkatan beban hidup yang beratnya sebanding dengan selisih persentase peningkatan harga satuan konsumsi yang di bawah 10 persen dengan peningkatan konsumsi nyata yang lebih 70 persen! Itu lebih dekat pada pengukuran kemiskinan dengan Rasio Gini” (Buras, 21-6-2009).

“Begitulah janji politisi, secara logis dengan angka-angka kuantitatif terlihat adanya peningkatan kesejahteraan rakyat, tapi secara kualitatif yang dirasakan warga miskin beban hidup justru terasa semakin berat saja!” tegas Temon. “Dengan logika angka-angka itu politisi memang terkesan tidak melanggar janji—seperti janjimu untuk menyanyi yang tetap logis meski kau tidak menyanyi!” ***

0 komentar: