"TAK gendong ke mana-mana! Ha ha...!"Temin bergumam sambil jalan.
"Kau keranjingan lagu Mbah Surip?" tegur Temon."Enak, tau!" jawab Temin, masih dari lirik lagu Mbah Surip, Tak Gendong. "Meringankan beban pikiran! Tak perlu penghayatan!""Kenapa hal seperti itu sejak Mei 2009 seketika diterima secara massal oleh warga kita, sehingga Mbah Surip mendadak jadi idola?" kejar Temon."Mungkin karena otak rakyat mayoritas terlalu berat dijejali janji-janji kesejahteraan dalam kampanye pemilu, cuma menambah beban yang sudah sangat berat dalam hidup mereka, lagu Mbah Surip rupanya bisa membebaskan dari semua beban itu!" jawab Temin.
"Bayangkan muluknya janji kesejahteraan dari tatanan kehidupan yang serbaformal, ditimpali tontonan kemewahan sinetron televisi yang overekspose, padahal realitas hidup mayoritas rakyat semakin berat untuk lolos dari serbakekurangan! Sajian gaya hidup gembel menggelandang bebas dari Mbah Surip jadi lebih kena!"
"Maksudmu gaya hidup dan lagu Mbah Surip jadi alternatif bagi realitas hidup rakyat yang amat berat, sehingga diidolakan karena seburuk-buruk kehidupan pun sesungguhnya masih bisa dinikmati?" tukas Temon. "Dengan kata lain, tak perlu berpikir muluk-muluk mendambakan taraf hidup yang serbamapan, karena dengan apa adanya, bahkan gembel menggelandang pun tetap bisa menyenangkan! Maka itu, lepas semua beban pikiran untuk neko-neko, lupakan janji-janji muluk, karena setiap saat hangatnya gendongan (Mbah Surip) yang sederhana bisa dirasakan!""Enak to! Mantep to!" sambut Temin, lagi-lagi dari lirik Tak Gendong.
"Betapa, godaan untuk meraih kehidupan mapan itulah yang justru menjadi penyiksa mayoritas orang susah, membanting tulang dari rezim ke rezim untuk
"Dengan demikian, larisnya lagu dan penampilan Mbah Surip di televisi dan panggung hiburan bukan semata mengatasi kejenuhan dari sajian serbamapan, melainkan justru merupakan kebutuhan untuk jalan keluar dari iming-iming kemapanan yang overekspose--hingga tak akan pernah bisa dicapai oleh sebagian besar rakyat!
"Dengan begitu fenomena Mbah Surip mungkin bisa dipahami, standar hidup bukan semata bersifat elitis maupun teknokratis!" timpal Temin. "Gembel juga punya standar sendiri--kebahagiaan sejati tercapai dengan keinginan terbatas!!" ***
0 komentar:
Posting Komentar