Kata Kunci

Blogumulus by Roy Tanck and Amanda Fazani

Menuju Monolitisme Kekuasaan!

"KATA orang, dahulu ini arena adu ayam!" ujar cucu. "Kakek puas dong makan daging jago!"
"Daging jago kalah tarung tak boleh dimakan!" tegas kakek. "Taji lawannya beracun!"
"Kasihan jago kalah tarung, dagingnya saja tak boleh dimakan!" timpal cucu. "Berarti jagoan yang baru kalah tarung juga bisa diperlakukan seperti itu, dianggap tak bertuah, lalu disingkirkan!"
"Kau bicara soal jagoan apa?" sergah kakek.

"Teringat dialog pengamat di televisi!" jawab cucu. "JK yang kalah tarung dalam pilpres itu mau disingkirkan oleh 'Trio A'-Akbar, Aburizal, Agung--dari ketua umum Golkar lewat musyawarah nasional dipercepat! Perahu Golkar mau dibawa merapat ke kubu SBY-Boediono!"

"Kalau pengamat itu benar, arena politik negeri kita menuju monolitisme kekuasaan!" tegas kakek. "Suatu kondisi tak jauh beda dengan era Orde Baru, ketika kekuasaan presiden didukung lebih 70 persen suara di parlemen!"
"Tapi itu kan perubahan dari parliament heavy, yang dikeluhkan selama ini, jadi executive heavy yang semestinya dalam sistem presidensial!" kilah cucu. "Maksudnya, dengan dukungan kuat di DPR, proses semua program presiden mulus!"

"Dengan dukungan seperti itu, pengalaman masa Orde Baru, parlemen cuma jadi stempel segala kepentingan eksekutif!" tegas kakek. "Akibat tak ada pengontrol efektif di parlemen, kekuasaan jadi monolitis--semua semata maunya presiden! Lain hal jika di parlemen ada penyeimbang, semisal selain PDI-P ada kekuatan lain sebesar Golkar sebagai oposan di luar kubu koalisi kekuasaan presiden yang 56% nantinya, proses pengambilan keputusan masih lebih kritis!"
"Selama ini malah cuma PDI-P yang oposan, kok bisa jadi parliament heavy?" kejar cucu.
"Meski cuma PDI-P yang formal beroposisi, partai-partai lain belum terikat koalisi permanen seperti ke depan ini!" tegas kakek. "Dengan ikatan koalisi mutakhir ini, mayoritas mutlak di parlemen bisa menjadikan tiga pilar kekuasaan utama, eksekutif, legislatif, dan yudikatif (yang disusun eksekutif dan legislatif) menjadi konspirasi monolitis!"

"Kemungkinan terjadinya monolitisme kekuasaan tiga pilar utama negara demokrasi itu sudah jadi pemikiran Thomas Jefferson dekade kedua kemerdekaan AS!" timpal cucu. "Maka itu, 1791 amendemen pertama konstitusi AS dilakukan, menetapkan kemerdekaan pers sebagai pilar keempat negara demokrasi! Sehingga, meski ketiga pilar berkonspirasi, tetap ada pers yang bisa mengontrol ketiga pilar tersebut!"

"Dalam suatu monolitisme kekuasaan, seperti era Orde Baru, ketiga pilar itu tak sulit menciptakan UU atau hukum membelenggu pers, dengan pembredelan!" tegas kakek. "Monolitisme amat sulit dicegah, kecuali penguasa yang pada sikap dasarnya memang demokratis berusaha keras mencegah sendiri terjadinya monolitisme pada kekuasaannya!" ***

0 komentar: