"MELIHAT derita korban gempa kok geleng-geleng kepala?" tukas Umar. "Tak lazim! Ada apa?" "Teringat bencana jebolnya waduk Situ Gintung!" jawab Amir. "Ketika itu, parpol beradu cepat buka posko di sekitar lokasi bencana untuk membantu korban! Aneh, di lokasi bencana alam gempa yang jauh lebih luas sekarang, tak terlihat lagi posko-posko parpol seperti di Situ Gintung!"
"Pemilu telah selesai, buat apa lagi parpol-parpol buka posko di lokasi bencana alam?
" timpal Umar. "Bencana Situ Gintung terjadi di ambang pemilu, jadi paling tepat bagi parpol dijadikan ajang unjuk peduli nasib rakyat yang sedang menderita! Unjuk peduli terhadap penderitaan rakyat itu untuk memikat hati pemilih, hingga setelah pemilu usai, hal itu dianggap tak relevan lagi bagi parpol!"
"Jadi, pembukaan posko-posko parpol di bencana Situ Gintung itu bukan buah ketulusan hati untuk menolong korban, tapi lebih sebagai promosi parpol untuk memenangi pemilu?" tukas Amir. "Maka itu, setelah menang pemilu, meski bencana alam yang terjadi jauh lebih luas dan lebih massif, pertolongan serupa yang amat dibutuhkan korban tak mereka anggap penting lagi?"
"Kenyataannya begitu!" sambut Umar. "Dan itu mencerminkan relevansi politik bencana alam!"
"Relevansi politik seperti apa?" potong Amir.
"Relevansi politik di mana terjadinya bencana alam justru dianggap penting bagi parpol guna dijadikan panggung memikat simpati pemilih, agar memberikan suara ke partai yang dikesankan peka terhadap penderitaan rakyat!" jelas Umar. "Jelas tak etis menjadikan bencana sebagai arena promosi meraih kekuasaan! Tetapi, belang itu mencolok ketika sesusai pemilu gerakan peduli penderitaan rakyat tak dilakukan lagi saat terjadi bencana alam yang justru lebih luas dan massif!"
"Kalau begitu bukan lagi sekadar pragmatis dalam usaha memenangi pemilu, malah menghalalkan segala cara!" tegas Amir. "Tak sukar dibayangkan, dioreintasikan ke mana kekuasaan yang diperoleh dengan cara seperti itu! Ketika kemalangan bencana pun diorentasikan pada kepentingan kekuasaan, menjadi relevansi politik jika segala langkah parpol semata berorientasi kekuasaan!"
"Orientasi mutlak pada kekuasaan itu terlihat jelas pada bencana alam gempa bumi yang luas itu, kebetulan terjadi saat parpol-parpol sibuk bagi-bagi kekuasaan hasil pemilu!" tegas Umar. "Gema kesibukan bagi-bagi kekuasaan, wacana susunan kabinet dan distribusi kekuasaan, terdengar lebih nyaring dari rintihan korban bencana gempa!"
"Relevansi politik seperti itu membuat orang jadi berpikir, kalau bisa diorder, bencana alam sebaiknya terjadi menjelang pemilu!" tegas Amir. "Dengan begitu, parpol-perpol bisa menjadikan bencana tersebut sebagai ajang kampanye terselubung di atas penderitaan korban dan mayat-mayat yang bergelimpangan!" n
"Jadi, pembukaan posko-posko parpol di bencana Situ Gintung itu bukan buah ketulusan hati untuk menolong korban, tapi lebih sebagai promosi parpol untuk memenangi pemilu?" tukas Amir. "Maka itu, setelah menang pemilu, meski bencana alam yang terjadi jauh lebih luas dan lebih massif, pertolongan serupa yang amat dibutuhkan korban tak mereka anggap penting lagi?"
"Kenyataannya begitu!" sambut Umar. "Dan itu mencerminkan relevansi politik bencana alam!"
"Relevansi politik seperti apa?" potong Amir.
"Relevansi politik di mana terjadinya bencana alam justru dianggap penting bagi parpol guna dijadikan panggung memikat simpati pemilih, agar memberikan suara ke partai yang dikesankan peka terhadap penderitaan rakyat!" jelas Umar. "Jelas tak etis menjadikan bencana sebagai arena promosi meraih kekuasaan! Tetapi, belang itu mencolok ketika sesusai pemilu gerakan peduli penderitaan rakyat tak dilakukan lagi saat terjadi bencana alam yang justru lebih luas dan massif!"
"Kalau begitu bukan lagi sekadar pragmatis dalam usaha memenangi pemilu, malah menghalalkan segala cara!" tegas Amir. "Tak sukar dibayangkan, dioreintasikan ke mana kekuasaan yang diperoleh dengan cara seperti itu! Ketika kemalangan bencana pun diorentasikan pada kepentingan kekuasaan, menjadi relevansi politik jika segala langkah parpol semata berorientasi kekuasaan!"
"Orientasi mutlak pada kekuasaan itu terlihat jelas pada bencana alam gempa bumi yang luas itu, kebetulan terjadi saat parpol-parpol sibuk bagi-bagi kekuasaan hasil pemilu!" tegas Umar. "Gema kesibukan bagi-bagi kekuasaan, wacana susunan kabinet dan distribusi kekuasaan, terdengar lebih nyaring dari rintihan korban bencana gempa!"
"Relevansi politik seperti itu membuat orang jadi berpikir, kalau bisa diorder, bencana alam sebaiknya terjadi menjelang pemilu!" tegas Amir. "Dengan begitu, parpol-perpol bisa menjadikan bencana tersebut sebagai ajang kampanye terselubung di atas penderitaan korban dan mayat-mayat yang bergelimpangan!" n
1 komentar:
bahagia di atas penderitaan orang lain.
Posting Komentar